Memopulerkan Indonesia Melalui Film ”Wiro Sableng 212”
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Film kolosal Indonesia yang berjudul Wiro Sableng 212 akan tayang di bioskop Indonesia mulai 30 Agustus 2018. Penekanan pada identitas lokal Indonesia membuat film tersebut mampu menarik minat perusahaan industri hiburan internasional, yaitu Fox International Productions (FIP).
”Saya pikir harus ada kerja sama dengan pihak luar. Tujuannya untuk distribusi, promosi, dan terutama transfer ilmu pengetahuan,” kata produser film Wiro Sableng 212 Sheila Timothy dalam kunjungan ke Kompas, Kamis (9/8/2018).
Wiro Sableng 212 adalah film yang diangkat dari novel karya Bastian Tito (alm). Cerita mengenai Wiro Sableng ditulis dalam 185 buku yang terbit dari 1967 hingga 2006. Sebelumnya, cerita Wiro Sableng pernah dibuat dalam bentuk sinetron di televisi akhir 1990-an.
Menurut Sheila, tantangan pembuatan film terletak pada cara menampilkan visualisasi berkualitas dari buku yang diadaptasi. Oleh sebab itu, penggarapan film ini memakan waktu yang cukup lama. Persiapan mulai dilakukan sejak 2016, sedangkan proses produksi dimulai dari Februari hingga Juni 2017.
”FIP adalah anak perusahaan dari 20th Century Fox. Mereka tertarik sekali dengan Wiro Sableng 212 karena ini cerita yang Indonesia banget. Buat mereka, film ini unik,” kata Sheila.
Visualisasi film Wiro Sableng 212 terinspirasi dari kearifan lokal Indonesia. Menurut desainer produksi film Wiro Sableng 212 Adrianto Sinaga, unsur etnik khas Indonesia digunakan, baik segi kostum, properti, maupun visualisasi Desa Jatiwalu yang menjadi latar lokasi dalam cerita.
Sebagai contoh, ukiran khas suku Batak digunakan pada desain tongkat karakter Sinto Gendeng, guru bela diri Wiro Sableng. Kostum karakter Anggini juga memadukan kain ulos yang berasal dari Sumatera Utara.
Selain itu, kekayaan budaya dari daerah-daerah lain pun turut ditampilkan. Misalnya, kalung yang dipakai oleh karakter Dewa Tuak yang berasal dari Nias. Ada pula pedang milik karakter Anggini yang terinspirasi dari senjata mandau khas Kalimantan.
Desain kapak milik sang tokoh utama, Wiro Sableng, juga mencerminkan kekayaan Indonesia. Adrianto mengatakan, desain kapak itu mengandung unsur ukiran seperti yang ditemui pada keris. Selain itu, ada pula perpaduan unsur api, tanah, udara, dan air pada kapak. Pengerjaan desain itu dikerjakan bersama dengan Chris Lie selaku konseptor seni dan desain pada film Wiro Sableng 212.
Visualisasi Desa Jatiwalu juga terinspirasi oleh sebuah desa di Indonesia, tepatnya Desa Baduy yang berada di Banten. Kondisi desa yang berundak-undak dinilai menarik untuk menggambarkan suasana Desa Jatiwalu, sedangkan visualisasi kerajaan dalam cerita Wiro Sableng 212 mengadopsi suasana Keraton Cirebon.
”Pertama kali bekerja, saya langsung membayangkan bahwa ini film Indonesia. Bukan negara lain, melainkan Indonesia. Semua desain kami kemas ulang sesuai dengan budaya. Itulah yang jadi ide visualisasi,” kata Adrianto.
Kentalnya unsur budaya Indonesia tidak hanya ada pada visualisasi, tetapi juga pada unsur bela diri yang menjadi roh utama dalam cerita. Gerakan pencak silat yang berasal dari beragam daerah lalu digunakan oleh setiap karakter.
Kentalnya unsur budaya Indonesia tidak hanya ada pada visualisasi, tetapi juga pada unsur bela diri yang menjadi roh utama dalam cerita. Gerakan pencak silat yang berasal dari beragam daerah lalu digunakan oleh setiap karakter.
”Indonesia punya banyak sekali aliran pencak silat. Setiap daerah punya kekhasan sendiri-sendiri. Saya harap warna yang ditampilkan di film ini bisa memperkenalkan pencak silat Indonesia ke para penonton,” kata koreografer aksi film Wiro Sableng 212 sekaligus pemeran karakter Mahesa Birawa, Yayan Ruhian.
Yayan mengatakan, gerakan pencak silat pada film arahan Angga Dwimas Sasongko ini disesuaikan dengan senjata masing-masing karakter. Misalnya, Anggini yang menggunakan selendang sebagai senjata dan kipas milik Bujang Gila Tapak Sakti.
Dengan latar belakang para pemeran yang rata-rata menguasai ilmu bela diri, hanya diperlukan sejumlah penyesuaian untuk menampilkan gerakan pencak silat yang dimaksud.
Sejumlah pemeran yang terlibat antara lain adalah Vino G Bastian sebagai Wiro Sableng, Sherina Munaf sebagai Anggini, dan Fariz Alfarizi sebagai Bujang Gila Tapak Sakti. Ada pula Yayan Ruhian sebagai Mahesa Birawa, Aghniny Haque, Yusuf Mahardika, dan Gita Arifin.
Budaya kita keren dan banyak, tapi kita sebagai orang Indonesia malah tidak paham dengan budaya sendiri, terlebih soal pencak silat. Semoga film ini bisa mengenalkan pencak silat ke masyarakat.
”Budaya kita keren dan banyak, tapi kita sebagai orang Indonesia malah tidak paham dengan budaya sendiri, terlebih soal pencak silat. Semoga film ini bisa mengenalkan pencak silat ke masyarakat,” kata Sheila (SEKAR GANDHAWANGI)