Panduan Praktik Dermatologi Belum Jelas, Regulasi Perlu Disusun
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Regulasi praktik dermatologi di Indonesia masih perlu disusun guna membimbing dokter spesialis kulit dan kelamin dalam memberikan perawatan terbaik kepada pasien. Perawatan atau pengobatan itu harus berbasis bukti atau telah dipertanggungjawabkan melalui hasil riset yang mendukung efisiensinya.
”(Di Indonesia), kita belum punya panduan atau guideline. Panduan itu penting untuk tindakan tertentu, seperti prosedur estetik. Kita masih mengacu pada prosedur dari luar negeri, seperti Singapura atau Filipina. Di Indonesia, regulasi itu belum ada sehingga siapa pun bisa mempraktikkannya,” tutur Syarief Hidayat, Ketua League of ASEAN Dermatology Societies (LADS), saat jumpa pers acara Regional Conference of Dermatology (RCD) di Surabaya, Kamis (9/8/2018).
Pedoman dermatologi itu penting supaya tindakan serta efek yang dilakukan oleh dokter kepada pasiennya itu menjadi jelas. ”Suntik filler, misalnya, bukan asal suntik saja. Kalau disuntik di tempat yang salah atau dosisnya kebanyakan, efeknya kepada pasien bisa fatal,” ujar Syarief.
Menurut dia, pada era globalisasi ini, dokter kini dituntut mampu bersaing dengan dokter dari negara-negara lain. Oleh karena itu, praktik dermatologi yang berbasis bukti ilmiah dan yang mengedepankan etika keamanan pasien atau patient safety first perlu dijadikan sebagai pedoman utama dokter.
Yulianto Listiawan, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), mengatakan, pihaknya memiliki tanggung jawab mengingatkan anggotanya agar mereka melaksanakan praktik dermatologi berbasis bukti ilmiah.
Acara seperti RCD menjadi ajang di mana dokter mendapatkan informasi mengenai hasil riset dermatologi terkini. Berbagai macam workshop juga digelar di mana dokter dapat mempraktikkan berbagai tindakan dermatologi.
”Dalam salah satu workshop, kami menggunakan kadaver atau mayat. Di kegiatan praktik itu, dokter diajarkan cara suntik filler yang benar,” kata Yulianto.
RCD Ke-23 pada 2018 ini digelar di Grand City Convex, Surabaya, pada 8-11 Agustus. Acara yang mengumpulkan dokter se-Asia dan Australia ini digelar setiap dua tahun sekali. Tahun ini, acara tersebut diselenggarakan oleh Perdoski, LADS, dan Bioderma.
Yulianto mengatakan, RCD tahun ini dihadiri sekitar 2.000 peserta dokter, lebih dari 40 pembicara asing, dan 100 pembicara lokal. Dalam acara itu, diharapkan dokter se-Asia dan Australia dapat saling berbagi ilmu dan keterampilan.
”Masyarakat dan dokter harus terus diedukasi mengenai bagaimana menggunakan produk dermatologi yang baik. Kadang, dokter tidak up to date dengan hasil riset (dermatologi) terbaru,” kata Heidy Sambung, Medical Marketing Bioderma Indonesia.
Menurut dia, penyakit dermatitis atopik merupakan salah satu penyakit kulit yang paling banyak ditemui dokter.
”Dari 10 pasien yang ditemui para dokter sehari-hari, enam hingga tujuh pasien menderita penyakit dermatitis atopik. Acne juga menjadi gangguan kulit yang paling banyak ditemui. Namun, pasien sering kali mengobatinya sendiri atau ke dokter ketika kondisi acne-nya sudah parah,” tutur Heidy.
HM Subuh, Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan Kementerian Kesehatan, mengatakan, penyakit kulit tidak masuk dalam 10 penyakit terbesar di Indonesia. Walaupun demikian, penyakit itu bisa berdampak pada kondisi psiko-sosial dan memengaruhi gaya hidup.
”Diperlukan perhatian khusus dalam pelaksanaan tindakan dermatologi. Gangguan penyakit kulit dapat menjadi beban psikologis,” ujar Subuh.