Sejak 20 tahun terakhir, perupa Sri Warso Wahono serius menggeluti tema-tema seputar rampogan dalam karya-karyanya. Baginya, tema ini selalu aktual di segala zaman dan ia akan berkutat di sana sampai harmoni tercipta.
Rampogan mempunyai makna filosofis, historis, dan secara fenomenologis mewakili zaman, kata Sri Warso. Dalam lakon-lakon wayang kulit purwa, rampogan menggambarkan tentang peristiwa atau fenomena munculnya situasi ketidakseimbangan, kondisi sulit, bahkan kadang-kadang sangat sulit sehingga menimbulkan kekacauan.
Baginya, fenomena rampogan tidak hanya muncul di jagat pakeliran wayang saja tetapi juga dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itulah, Sri Warso mencoba "mendokumentasikan" momen-momen itu dalam goresan-goresan kanvasnya selama 20 tahun terakhir.
"Rampogan akan selalu aktual ketika situasi memanggilnya," kata Direktur Program Bentara Budaya Frans Sartono dalam pameran tunggal Sri Warso Wahono bertajuk "Kidung Rampogan" yang dibuka Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo, Kamis (9/8/2018), di Bentara Budaya Jakarta. Pameran yang digelar pada 10-19 Agustus 2018 ini menampilkan 31 lukisan Sri Warso yang sebagian besar mengangkat tema-tema tentang rampogan.
Sri Warso memang sudah mulai menggambar sejak 50 tahun terakhir. Namun, sejak negara ini mengalami kerusuhan besar pada 1998, ia memilih fokus untuk melukis fenomena-fenomena rampogan yang ternyata tidak berhenti pada 1998, tetapi juga terus berulang pada masa-masa selanjutnya dalam bentuk dan karakter yang berbeda.
Dari beberapa karya lukisan Sri Warso, kurator Bentara Budaya Efix Mulyadi melihat topik rampogan bisa digunakan Sri Warso untuk menyoroti hampir semua ragam penyimpangan yang terjadi di negeri ini, mulai dari perkara sosial politik praktis, kebobrokan moral, keserakahan, kekuasaan, hingga kekejaman. Karena itu, beberapa judul lukisannya pun jelas menunjuk peristiwa-peristiwa nyata yang menjadi pembahasan hangat di masyarakat, seperti "Cermin Pecah e-KTP", "Rampogan Century", atau "Rampogan Madam Banggar".
Ringkasan wayang
Budayawan Arswendo Atmowiloto dalam ulasan khususnya untuk pameran tunggal Sri Warso memaparkan, lukisan Sri Warso ibarat pentas wayang kulit semalam suntuk yang diringkas dalam salah satu unsurnya, yaitu rampogan.
"Datang ke pameran lukisan Sri Warso Wahono ibaratnya datang ke pertunjukan wayang kulit yang dipersiapkan dengan baik dan benar, yang memberi sapaan, yang mengungkapkan kembali imaji-imaji kehidupan. Namun, pada saat yang sama diperlukan penjelasan narasi," ucapnya.
Dalam lukisannya, Sri Warso terbebas dari kungkungan lakon, pakem, carangan, atau jam berapa harus memainkan rampogan. Karena itulah, muncul judul-judul bebas dalam karyanya, seperti "Rampogan Ibu Pertiwi", "Rampogan Pundi-Pundi", "Rampogan Adat Tradisi", atau "Rampogan BBM".
"Kamu berpameran dengan tepat, mencatat apa yang baik dan tidak baik. Kami ibarat prapanca, tidak berpihak tetapi menjadi saksi. Demikian Mas Wendo (Arswendo) berkata kepada saya," kata Sri Warso.
Menurut pelukis kelahiran Solo, 17 Juni 1948 itu, peristiwa-peristiwa perebutan kekuasaan (yang merupakan salah satu fenomena rampogan) akan selalu terjadi di sepanjang zaman sehingga ia akan terus melukis. Lukisan-lukisan itu akan ia persembahkan kepada manusia-manusia yang mensyukuri peradaban.
Pramono Anung terkesan dengan kecermatan Sri Warso memotret rententan panggung peristiwa dalam satu bingkai lukisan. Sama seperti momen rampogan dalam wayang yang memperlihatkan situasi tertentu, Sri Warso juga mampu menggunakan media lukisan untuk mengekspresikan fenomena zaman.
Pembukaan pameran tunggal "Kidung Rampogan" karya Sri Warso dimeriahkan dengan penampilan gamelan dan tari Bali, Sanggar Saraswati pimpinan IG Kompyang Raka. Khusus untuk pameran ini, Sanggar Saraswati memainkan sebuah gending berjudul "Gending Rampogan".