Redupnya Pusat Ukir Dunia di Jepara
Selasa (31/7/2018) pagi, pandangan Patrick Audrey (18) tak bisa lepas dari lapisan kayu setebal 6 cm yang sedang diukir pekerja di Senenan, Kabupaten Jepara. Saking seriusnya, dia lupa masih menggenggam buah jagung yang bulirnya sudah habis ia makan.
Bisingnya mesin dan generator di ruangan itu sama sekali tidak mengalihkan perhatian Patrick. Pemuda asal Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, itu sengaja datang ke Jepara untuk belajar mengukir.
Patrick mengaku sejak lama tertarik pada seni. Ia juga hobi menggambar. Kini, ia ingin mengembangkan bakat seni pada kerajinan ukir. ”Saya mendapat saran buat belajar di Jepara. Kelak, saya ingin buka usaha ukir relief di kampung,” katanya.
Patrick tak putus asa, ia terus mencari tempat yang mau menerimanya untuk belajar mengukir. Akhirnya, Patrick diterima di salah satu maestro ukir tiga dimensi di Jepara, yakni Sutrisno, pemilik Jepara Carver.
Cerita Patrick adalah sebuah kisah ironi di Jepara yang dikenal sebagai ”The World Carving Centre”. Kisah Patrick menunjukkan, Jepara masih menjadi rujukan untuk belajar menekuni seni ukir. Saat ada pemuda rela jauh-jauh dari Flores datang untuk belajar, di Jepara malah minat para pemuda untuk menjadi pengukir sangat menurun.
Menurut Ali Utomo (29), pengukir kayu di Senenan, saat ini, laki-laki seusianya lebih tertarik bekerja di gudang mebel atau bahkan di industri nonkayu, seperti garmen. Alasannya, rata-rata karena mendapat pendapatan lebih tinggi, juga gengsi, ketimbang pengukir.
Bagi Ali, kultur mengukir di Desa Senenan, yang merupakan sentra ukir relief, harus terus dipertahankan. Alasan itu juga yang membuatnya tetap memilih jadi pengukir. ”Selain itu, pekerjaan mengukir waktunya lebih fleksibel. Saat jenuh, saya bisa stop bekerja dulu,” ujar Ali.
Di sejumlah tempat produksi kerajinan ukir relief di Senenan, upah yang diberikan beragam, berkisar Rp 50.000-Rp 100.000 per hari. Itu bergantung pada pengalaman, tingkat kesulitan, dan besarnya barang yang dikerjakan. Selain per hari, ada juga pembayaran per produk yang dihasilkan, dengan perhitungan Rp 35.000-Rp 60.000 per 10 sentimeter x 10 cm.
Sekitar 100 meter dari tempat Ali bekerja, Hendriyono (61) berkonsentrasi mengukir meja bundar berbahan kayu jati dengan diameter 1 meter. Meja sudah penuh dengan serpihan kayu. Dipersenjatai 30 tata atau alat pahat ukir dan satu palu kayu, ia dengan sabar membentuk motif kembang.
Yono, yang mengukir sejak 1973, mengerjakan pesanan tersebut seorang diri. Pekerjaan selesai dalam waktu tiga bulan. Terkadang, ia mengambil pekerjaan dengan upah harian, di lain waktu mengambil borongan. Di ruang pamer milik bosnya, sejumlah produk ukiran relief dijual Rp 13 juta-Rp 65 juta.
Pekerjaan mengukir, bagi Yono, amat membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Hal itu sudah jarang dimiliki anak-anak muda di desanya saat ini. ”Anak muda sudah jarang yang mau menjadi pengukir. Jadi, pesanan dikerjakan sesuai ketersediaan tenaga yang ada saja,” katanya.
Menurut Yono, beberapa tahun lalu bengkel ukirnya bisa menghasilkan hingga enam karya ukir dalam setahun, kini rata-rata hanya tiga produk karena kurangnya tenaga kerja, bukan kurangnya order. Permintaan sebenarnya tak pernah berhenti datang, khususnya dari Amerika, China, dan Malaysia.
Menolak pembeli
Sutrisno, maestro sekaligus pemilik Jepara Carver, tempat produksi ukir relief dan mebel di Senenan, mengaku, mereka terpaksa menolak permintaan karena keterbatasan tenaga kerja. Calon pembeli pernah menantangnya untuk memproduksi ukiran sebanyak mungkin. ”Akhirnya, ya, sesuai kemampuan kami saja. Sebelumnya, saya pernah punya 10 pekerja, tetapi kini tinggal lima,” ucap Sutrisno.
Sutrisno mengaku, sebenarnya urusan ukir kayu pada mebel, tenaga kerja di Jepara masih cukup banyak. Namun, untuk menghasilkan ukir relief, yang produknya detail dan lebih butuh kesabaran, ketekunan, dan ketelitian, sumber daya manusianya makin terbatas.
Padahal, 10-20 tahun lalu, di Senenan, ada sekitar 50 persen anak yang tertarik, tetapi kini hanya sekitar 5 persen. ”Ini juga seiring berkembangnya teknologi informasi. Zaman berubah, tetapi kami berharap mereka menyadari bahwa budaya (mengukir) ini ada dan ini seni luhur yang luar biasa,” katanya.
Sutrisno sadar, jika terus dibiarkan, regenerasi pengukir relief di Senenan, bahkan Jepara, akan mati. Ia tak pernah lelah membuka pintu bagi siapa pun yang ingin belajar mengukir kepadanya. Bahkan, bagi yang datang secara mandiri (bukan instansi), ia terbuka dan menggratiskan biayanya.
Sebagai industri yang mengedepankan kearifan lokal, sentra seni ukir relief ini punya potensi besar untuk terus berkembang. Apalagi, nyatanya, bagi sejumlah perajin, permintaan pasar tak menurun. Maka, jika minat, kemauan, dan kerja keras meluntur, bukan tak mungkin kejayaan mebel ukir ini pun hancur. (Raditya Mahendra Yasa)