Jalan Berliku Perlucutan Senjata Nuklir
Peringatan 73 tahun serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, pekan ini, dimanfaatkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebagai momentum mengingatkan dunia terhadap ancaman perang nuklir. Kekhawatiran bakal terjadi perang nuklir itu, katanya, masih ada. Sebab, negara-negara terus mengeluarkan dana sangat besar untuk memodernisasi stok senjata nuklir mereka.
”Lebih dari 1,7 triliun dollar AS (sekitar Rp 24.617 triliun) pada tahun 2017 dibelanjakan untuk senjata dan tentara. Ini tingkat belanja tertinggi sejak Perang Dingin,” kata Guterres.
Pekan ini, dunia mengenang serangan bom atom pertama berjuluk ”Bocah Kecil” oleh Amerika Serikat di Hiroshima, 6 Agustus 1945, dan disusul bom atom kedua bernama ”Pria Gemuk” di Nagasaki. Sekitar 140.000 orang tewas akibat bom atom di Hiroshima dan 74.000 orang tewas di Nagasaki.
Wali Kota Hiroshima Kazumi Matsui mengingatkan, ancaman perang nuklir belakangan menguat seiring bangkitnya kembali nasionalisme di sejumlah negara dan upaya memodernisasi senjata nuklir mereka. ”Upaya pemusnahan senjata nuklir harus terus berlanjut,” tegas Matsui.
Kekhawatiran pada ancaman perang nuklir, yang antara lain coba dicegah dengan upaya menghentikan penyebaran teknologi senjata nuklir, sudah disadari setidaknya dalam lima dekade terakhir. Pada 1968, sebanyak 62 negara menandatangani Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT) dengan tiga pilarnya: perlucutan, nonproliferasi, dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai.
Lima negara pemilik senjata nuklir, yakni AS, China, Inggris, Perancis, dan Rusia, menandatangani traktat itu. Empat negara lain pemilik senjata nuklir (India, Pakistan, Israel, Korea Utara) menolak menandatangani. Korut meratifikasi NPT tahun 1985, tetapi mundur tahun 2003.
”Traktat ini tidak mudah dilaksanakan karena berawal dari start yang tidak sama akibat kategorisasi negara-negara anggota (penanda tangan) traktat,” kata Grata Endah Werdaningtyas, Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri RI.
Kategorisasi yang dimaksud adalah pembagian ke dalam negara-negara pemilik senjata nuklir (NWS) dan negara-negara bukan pemilik senjata nuklir (NNWS). Ada ketidakadilan dalam traktat itu. Traktat melarang NNWS memperoleh dan mengembangkan teknologi senjata nuklir, tetapi membiarkan negara NWS menguasai dan mengembangkan senjata nuklir mereka.
”Negara pemilik senjata nuklir menggunakan senjata nuklir untuk kompetisi antarmereka, atau untuk secara de facto memegang kendali dalam isu penting dunia,” jelas Grata. ”Mereka menjadikan senjata nuklir sebagai bagian dari doktrin pertahanan. (Senjata nuklir) ini sebagai alat deterens yang sangat kuat untuk menekan negara-negara lain.”
Pada 1996, PBB mengadopsi Traktat Pelarangan Uji Coba Nuklir Komprehensif (CTBT). Traktat ini mengatur pelarangan uji coba nuklir di permukaan dan bawah tanah, di atmosfer, dan di bawah permukaan laut.
Negara pemilik senjata nuklir, seperti India, Korea Utara, dan Pakistan, tidak mau menandatangani CTBT. Lima negara pengembang teknologi nuklir, yakni China, Mesir, Iran, Israel, dan AS, menandatangani traktat tersebut, tetapi tidak meratifikasinya.
Setali tiga uang
Setali tiga uang dengan NPT, CTBT juga gagal menghentikan uji coba nuklir. Tahun 1998, India dan Pakistan menggelar uji coba nuklir. Adapun Korut melakukan enam kali uji coba nuklir sejak 2006 hingga 2017. ”CTBT kehilangan relevansi karena dengan simulasi komputer, uji coba nuklir bisa dilakukan,” ujar Grata.
Federasi Ilmuwan Amerika (FAS) mencatat, jumlah senjata nuklir di dunia berkurang secara signifikan sejak Perang Dingin. Dari jumlah sekitar 70.300 pada puncaknya tahun 1986, senjata nuklir di dunia diperkirakan berjumlah 14.485 pada awal 2018.
Adapun lembaga Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) mencatat, total senjata nuklir sembilan negara—AS, Rusia, Inggris, Perancis, China, India, Pakistan, Israel, dan Korut—mencapai 14.465 buah pada awal 2018 atau menurun dari 14.935 senjata nuklir pada awal 2017.
Namun, sebagian besar penurunan itu disebabkan oleh perjanjian bilateral AS dan Rusia— pemilik hampir 92 persen dari seluruh senjata nuklir saat ini— lewat kesepakatan New START yang ditandatangani Presiden Barack Obama dan Presiden Dmitry Medvedev tahun 2010.
Kesepakatan bilateral seperti itu memang bisa mengurangi jumlah senjata nuklir. Namun, di sisi lain, hal itu memunculkan kekhawatiran baru. ”Mereka bermain-main di antara sesama mereka sendiri,” kata Grata.
SIPRI mencatat, meski sepakat mengurangi senjata nuklir mereka, AS dan Rusia telah memiliki program jangka panjang untuk menggantikan dan memodernisasi hulu ledak nuklir, rudal, sistem pengiriman pesawat, dan fasilitas produksi senjata nuklir. Kajian Postur Nuklir (NPR) AS, yang dipublikasikan pada Februari 2018, juga menekankan perluasan opsi nuklir untuk menangkis dan, jika diperlukan, untuk menaklukkan serangan-serangan nuklir dan serangan strategis non-nuklir.
”Fokus baru pada pentingnya strategi deterens dan kapasitas nuklir merupakan tren yang sangat mengkhawatirkan,” kata Jan Eliasson, Ketua Dewan Pengelola SIPRI.
Kini, 73 tahun setelah tragedi mengerikan akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, upaya perlucutan senjata nuklir terus menemui jalan berliku. Pada 7 Juli 2017, sebanyak 122 negara menyetujui Traktat Pelarangan Senjata Nuklir di Markas Besar PBB di New York, AS. Traktat ini dimaksudkan untuk menghapus senjata nuklir secara total.
Namun, tak satu pun dari sembilan negara pemilik senjata nuklir ikut negosiasi. Seperti mekanisme sebelumnya, upaya perlucutan senjata nuklir mendapat rintangan negara-negara pemilik senjata nuklir atau negara-negara yang mendapat perlindungan mereka. (MH SAMSUL HADI)