Komisi Pemilihan Umum Irak tidak pernah menyangka bantuan teknologi malah menyulitkan kerja mereka. Mereka harus bekerja berkali-kali karena hasil penghitungan dengan menggunakan mesin malah tidak dipercaya.
KPU Irak menggunakan sistem penghitungan elektronik dengan maksud mempercepat penghitungan suara hasil pemilu 12 Mei 2018. Sayang, banyak pihak menuding sistem penghitungan sudah dicurangi sehingga hasilnya tidak dipercaya.
Akhirnya, mereka harus menghitung ulang secara manual setiap surat suara hasil pemilu yang pertama sejak Irak mengumumkan kemenangan atas Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) itu. Sebanyak 6.990 politisi memperebutkan 329 kursi DPR. Dari keseluruhan kursi, 83 dialokasikan untuk perempuan dan 9 untuk wakil minoritas.
Tantangannya tidak sampai di situ. Beberapa hari setelah perintah penghitungan ulang dikeluarkan, gudang penyimpan surat suara terbakar. Insiden yang menimpa gudang di Baghdad itu tidak sampai menghentikan proses penghitungan suara ulang.
Kini, hampir tiga bulan sejak pemungutan suara, KPU Irak mengumumkan hasil penghitungan suara ulang yang dilakukan secara manual. Ternyata, hasilnya tidak banyak berubah. Kelompok penyokong Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi tetap kalah.
Dalam penghitungan pertama, kelompok Moqtada al-Sadr mendapat 54 kursi dan menempati urutan teratas perolehan kursi di parlemen. Sementara kelompok Abadi hanya mendapat 42 kursi dan menempati urutan ketiga.
Dalam penghitungan kedua yang dilakukan secara manual, kelompok Sadr tetap mendapat 54 kursi dan Abadi tetap 42 kursi. Posisi kedua tetap ditempati kelompok milisi Syiah sokongan Iran yang mendapat 48 kursi.
Masalah lain
Kini, selepas masalah hasil pemilu selesai, ada masalah baru membayangi Irak. Hasil pemilu membuat tidak ada satu kelompok pun yang benar-benar punya kursi mayoritas di parlemen. Fakta itu akan menyulitkan pembentukan pemerintahan baru.
Seperti di banyak negara parlementarian, pemerintahan di Irak dinyatakan demisioner kala pemilu diselenggarakan. PM Abadi berstatus sebagai pelaksana tugas yang tidak bisa membuat keputusan strategis. Padahal, Irak sangat membutuhkan pemerintahan definitif yang bisa membuat keputusan.
Kondisi Irak memang buruk sekali terutama karena lapangan pekerjaan amat terbatas dan orang sulit mendapat penghasilan. Pemerintahan definitif diharapkan bisa membuat keputusan untuk mengatasi keadaan tersebut.
Sayangnya, pembentukan pemerintahan definitif bukan perkara mudah. Kelompok Sadr memang meraih kursi terbanyak. Akan tetapi, jumlahnya kurang dari status mayoritas. Ia harus menggalang koalisi dengan kelompok lain.
Sadr dan Abadi pernah menjajaki kemungkinan koalisi. Perundingan pada Juni 2018 itu hanya menghasilkan kesepakatan untuk berkoalisi. Tidak ada kesepakatan tentang siapa yang akan menjadi PM. Padahal, salah satu masalah utama dalam pembentukan koalisi adalah siapa yang menjadi PM.
Kelompok-kelompok politik di Irak berkejaran dengan waktu. Sesuai ketentuan, Presiden Irak harus mengundang anggota parlemen terpilih untuk bersidang paling lambat 15 hari setelah hasil pemilu diumumkan.
Di sidang perdana, anggota parlemen akan memilih ketua dan wakil ketua. Selanjutnya, dalam maksimal 30 hari, parlemen harus memilih presiden baru. Presiden harus disetujui minimal oleh 220 dari 329 anggota parlemen Irak.
Selanjutnya, dalam maksimal 15 hari sejak terpilih, presiden harus meminta pemilik kursi terbanyak di parlemen untuk mengajukan calon PM. Calon PM terpilih punya maksimal 30 hari untuk memilih para calon menterinya. Jika sudah dipilih, calon PM dan para calon menteri harus mendapat persetujuan dari parlemen.
Presiden harus meminta calon PM yang baru jika parlemen menolak calon PM dan calon menterinya. Calon PM juga hanya punya maksimal 30 hari untuk memilih para calon menteri, lalu mendapat persetujuan dari parlemen. Siklus itu akan terus berulang selama parlemen tidak setuju. (AFP/REUTERS)