JAKARTA, KOMPAS- Mahkamah Konstitusi menyisakan 13 perkara sengketa selisih hasil pilkada yang belum selesai dibahas rapat permusyawaratan hakim atau diputus dalam putusan dismissal. Dari 13 perkara, delapan di antaranya memenuhi Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pilkada yang mengatur ambang batas selisih hasil suara pilkada yang bisa dibawa ke MK.
Kemarin, MK kembali menjatuhkan putusan dismissal atau tidak memenuhi ketentuan ambang batas selisih hasil pilkada pada perkara-perkara yang tak memenuhi UU. Sebanyak 24 perkara dinyatakan tak dapat diterima karena tak penuhi tenggat pengajuan sengketa hasil ke MK, selain tak punya kedudukan hukum, dan permohonan yang dimintakan bukan kewenangan MK. Sebagian besar lain juga dinyatakan tak punya kedudukan hukum karena tak penuhi ambang batas selisih hasil 0,5-2 persen dari jumlah penduduk.
Juru Bicara MK Fajar Laksono, Jumat (10/8/2018), di Jakarta, mengatakan, dari 71 perkara sengketa pilkada, 58 perkara dinyatakan tak dapat diterima MK dengan berbagai pertimbangan. Dengan 58 perkara tak diterima MK, berarti kini tersisa 13 perkara yang belum diputus.
”Dari 13 perkara itu belum tentu semuanya diteruskan ke pembuktian dengan pemeriksaan saksi dan ahli karena kalau dilihat hanya delapan yang
memenuhi syarat ambang batas selisih hasil suara. Namun, MK tak hanya melihat selisih hasil. Ada kemungkinan lima perkara lain yang tak penuhi selisih hasil juga diperiksa ke pembuktian karena MK punya pertimbangan lain, misalnya ada bukti dan keyakinan kuat terjadi pelanggaran yang substansial,” ujar Fajar.
Delapan permohonan yang memenuhi ambang batas selisih hasil pilkada itu berasal dari Maluku Utara (pemilihan gubernur), Kota Cirebon, Kota Tegal, Kabupaten Sampang, Nagekeo, Bolaang Mongondow, Deiyai, dan Timor Tengah Utara.
Fajar mengatakan, 13 perkara yang belum diputus kemungkinan sebagian karena belum dibahas di rapat dan sebagian lainnya karena MK menilai perkara itu punya kedudukan hukum sehingga akan dilanjutkan ke tahap pembuktian. ”MK masih ada jadwal pemberian putusan dismissal sampai 15 Agustus sehingga kemungkinan ada yang dinyatakan tak dapat diterima MK. Namun, jika MK menilai 13 perkara itu memenuhi semua UU, pemeriksaan akan terus ke pembuktian,” ujar Fajar.
Veri Junaidi, kuasa hukum pemohon dari Lahat, Kapuas, dan Parigi Moutong, mengatakan, putusan MK atas 58 perkara yang dinyatakan tak penuhi ketentuan UU bisa dijadikan masukan pemohon lain untuk memperhatikan ketentuan dasar pengajuan sengketa hasil pilkada ke MK. (REK)