Perumpamaan bahwa diam itu emas diam-diam sampai saat ini menjadi kompas perilaku santun sebagian dari warga masyarakat. Dulu orang suka mencemooh: “Cerewet, ah, kau. Serupa nenek-nenek!” Celaan itu mengandaikan bahwa diam, yang janggal dikiaskan sebagai satu mulut, lebih mulia ketimbang banyak mulut.
Cerewet dan nyinyir kurang lebih sepadan. Namun, dalam penggunaan belakangan ini, yang terakhir menenggelamkan yang pertama. Di media sosial, dalam baku cakap sesama warganet, adjektiva nyinyir yang juga bersinonim dengan bawel, beleter, calak, canggih, celomes, celopar, ceriwis, gelatak, dan menyenyeh itu mengada jauh lebih kerap dibandingkan dengan pantarannya.
Frekuensi pemakaian nyinyir yang lebih tinggi bila dikomparasikan dengan cerewet bisa dimaklumi. Penyetaraan fitur makna cerewet dengan citra feminis nenek-nenek boleh jadi, sadar atau setengah sadar, dihindari oleh mereka yang menghormati gerakan antibias jender. Sebelum nilai-nilai keutamaan feminisme diakui oleh kaum pria, pencemoohan terhadap laki-laki dengan menimpakan karakter keperempuanan menimbulkan luka psikis membekas.
Dahulu laki-laki, sedikitnya dalam kultur sosial yang meletakkan derajat perempuan di bawah lawan jenisnya, akan merasa malu mengenakan apa yang menjadi fitur wanita, seperti anting-anting di kuping. Kini rasa malu itu sudah raib.
Nyinyir alih-alih cerewet kemudian jadi pilihan buat menstigma siapa saja yang dianggap banyak mulut, banyak komentar yang tak perlu.
Meski nyinyir bebas dari bias jender, keterjeratannya dari bias politik tak terelakkan. Apa lacur? Adjektiva itu pun dilontarkan, dalam ajang perkubuan politik yang bersaing, dengan tidak merujuk ke maknanya yang akurat.
Seorang penyair dan esais terkemuka yang melontarkan sealinea komentar kritis yang cerdas mencerahkan terhadap pernyataan elite politik pun tak luput dari cemooh: Nyinyir, loe, ah!
Prasangka, kepentingan, dan keberpihakan politik memperkeruh nalar individu dalam memaknai kata secara tepat. Komentar yang kritis jelas tak dapat dimaknai sebagai pernyataan nyinyir. Komentar yang nyinyir dengan mudah dibedakan dari komentar tak nyinyir.
Pernyataan nyinyir tak perlu sekaligus tak bisa diverifikasi untuk membuktikan kekeliruan atau ketepatannya. Sebaliknya, komentar kritis yang bukan pernyataan nyinyir, bisa dianalisis dan dibuktikan kekeliruan atau ketepatannya.
Di media sosial, dalam percakapan interaktif, pergumulan antara buah pikiran yang cemerlang, yang diformulasikan dalam satu alinea atau beberapa kalimat sepanjang 280 karakter, dan celoteh asal bunyi berlangsung marak gegap gempita. Apalagi ketika poin pembicaraan memasuki ranah politik, yang terkait dengan perebutan kekuasaan menjelang pemilihan presiden 2019. Di sanalah kosakata nyinyir, yang kemunculannya begitu kerap, menjelma sebagai dirinya sendiri sekaligus sebagai adjektiva pembatas makna.
Akibat perbantahan politis yang terlampau emosional dan berpihak, nyinyir pun oleh sang pengujar mengalami perluasan makna. Bukan sekadar celoteh ala nenek-nenek yang dinilai nyinyir, pernyataan cendekiawan yang kritis ilmiah pun, selagi disampaikan di media sosial untuk mengomentari elite politik dengan nada negatif, serta-merta dianggap komentar nyinyir.
Itulah kenapa anda perlu berepot-repot di kerumunan pasar basah atau warung nasi uduk di pinggir jalan untuk mendengar nyinyir dilontarkan dalam arti yang orisinal, sebelum diselewengkan di ruang maya.
(Mulyo Sunyoto, Magister Pendidikan Bahasa)