Guna meminimalkan hoaks dan upaya menghalalkan segala cara untuk memenangi Pilpres 2019 Polri memperkuat Satuan Tugas Nusantara. Individu pelanggar dan penyebar ujaran kebencian juga akan ditindak.
JAKARTA, KOMPAS- Kepolisian Negara RI berkomitmen meminimalkan upaya perbuatan melawan hukum pada kontestasi Pemilihan Presiden 2019. Kepolisian akan bersikap tegas terhadap para pelanggar hukum, terutama yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian. Selain itu, Polri juga menggandeng elemen masyarakat untuk memperkuat langkah-langkah pencegahan.
”Polri akan kuatkan kembali Satuan Tugas Nusantara guna meminimalkan hoaks dan upaya menghalalkan cara lain untuk memenangkan pasangan calon di Pilpres 2019. Polri akan lakukan penegakan hukum terhadap setiap individu yang melanggar hukum yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Mohammad Iqbal, Jumat (10/8/2018), di Jakarta.
Ia memastikan penegakan hukum dilakukan untuk mencegah masifnya produksi dan sebaran hoaks, terutama di media sosial, selama Pemilu 2019. Untuk itu, Polri meningkatkan patroli siber sejak akhir Juli lalu.
Iqbal menekankan, setiap individu yang teridentifikasi pada penyebaran pesan-pesan negatif bermuatan politik akan diawasi. Dalam langkah pengawasan tersebut, Polri bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, para tokoh masyarakat, dan tokoh-tokoh agama untuk memberikan pemahaman utuh kepada masyarakat agar tak mencoreng pesta demokrasi dengan cara-cara melanggar hukum.
”Kami berharap pendukung pasangan (calon presiden-calon wakil presiden) menjauhi hal-hal yang dapat memecah belah bangsa. Walau hanya kalimat sepotong yang dibagikan di media sosial, hal itu bisa berbahaya,” katanya.
Selain melibatkan elemen masyarakat, tambah Iqbal, Polri juga akan berkoordinasi dengan penyelenggara pemilu untuk bertemu dengan semua kontestan Pilpres 2019. Melalui pendekatan langsung, peserta pemilu diharapkan mampu menjaga kondusivitas keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pendiri Kelas Muda Digital (Kemudi), Afra Suci Ramadhon, menilai, terdapat tiga konten yang perlu diwaspadai di media sosial dan dunia maya selama masa kampanye. Pertama, kehadiran berita palsu yang menyerupai berita. Berita bohong itu dapat dengan mudah menyebar di aplikasi pesan, seperti Whatsapp (WA).
Kemudian, yang kedua, ada pula konten hoaks yang berbasis teori atau cerita konspirasi yang disebarkan dalam bentuk visual infografis di Instagram dan video di kanal Youtube. Ketiga, persekusi atau komentar yang menyerang warganet lainnya dalam upaya mengekspresikan pilihan politik.
”Dibutuhkan rasa ingin tahu yang besar agar termotivasi untuk mencari sumber berita dan fakta. Kalau sudah tahu sebuah informasi adalah berita palsu, sebaiknya kita sebarkan pula verifikasi informasi tersebut,” kata Afra.
Persempit ruang gerak
Secara terpisah, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Syarif Hidayat, menyatakan, manipulasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah komoditas para elite. Oleh karena itu, harus diatasi dengan cara mempersempit ruang gerak para elite untuk mengapitalisasi isu SARA tersebut.
Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mempersempit peluang manipulasi isu SARA di antaranya mendefinisikan aturan main pilpres serta penegakan hukum yang jelas dan tegas atas pelanggaran aturan main yang disepakati, terutama terkait substansi dan aktivitas kampanye.