Strategi Para Pemburu Efek Ekor Jas
Sejumlah parpol harus menerima kadernya tak menjadi capres atau cawapres pada Pemilu 2019. Kondisi ini membuat mereka memutar otak agar tetap dapat memperoleh efek ekor jas (”coat tail effect”) atau hubungan yang positif antara kekuatan elektoral capres atau cawapres dan parpol pengusungnya.
Menjelang petang, Jumat (10/8/2018), seusai mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum pada pagi harinya, bakal calon wakil presiden, KH Ma’ruf Amin, bersilaturahim ke sejumlah partai politik pengusungnya.
Agenda pertama bakal calon wakil presiden (cawapres) pendamping Joko Widodo ini bertandang ke DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di tempat itu, ia disambut Ketua Umum PPP Romahurmuziy dan pejabat teras PPP lainnya.
Kepada Ma’ruf, Romahurmuziy memberikan sorban hijau sebagai simbol tamu kehormatan partai. Sorban itu pun langsung dikenakan kepada Ma’ruf. Tak lama, Ma’ruf menyebut PPP adalah rumahnya. Ini karena dia pernah menjadi wakil rakyat dari PPP. Tahun 1973 hingga 1977, Ma’ruf menjabat sebagai anggota DPR dari PPP. Kemudian, pada 1977 hingga 1982, dia pernah menjabat anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta dari PPP.
Apalagi, lanjutnya, saat ini dia menjabat Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). ”PPP dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) sama-sama anak NU,” tuturnya.
Dari PPP, Ma’ruf ke Partai Golkar, di mana ia juga disambut Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto beserta jajaran pengurus inti partai itu. Airlangga pun, dalam konferensi pers bersama, menyebut Ma’ruf pernah menjadi bagian dari Golkar. ”Beliau (Ma’ruf) pernah jadi utusan dari ulama di MPR dan bergabung dengan Fraksi MPR dari Golkar,” katanya.
Rekam jejak Ma’ruf memang jadi angin segar bagi Golkar, PKB, dan PPP. Ketiga parpol ini meyakini, efek ekor jas (coat tail effect) atau hubungan positif antara kekuatan elektoral seorang capres/cawapres dan parpol pengusungnya akan bisa diperoleh dari kehadiran Ma’ruf meski kader mereka tidak dipilih menjadi cawapres pendamping Jokowi.
Sekjen Partai Golkar Lodewijk F Paulus menuturkan, citra Golkar akan berusaha didekatkan dengan sosok Jokowi dan Ma’ruf melalui berbagai alat peraga kampanye. Semua caleg dari Golkar diarahkan untuk memasang baliho atau spanduk dengan wajah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Jokowi-Ma’ruf. Upaya ini diyakini akan mengamankan perolehan elektoral Golkar di Pemilu Legislatif 2019.
Lodewijk mengakui, saat ini parpol sama-sama sedang gamang menghadapi Pemilu 2019 di mana pemilu legislatif dan pemilihan presiden digelar serentak. ”Kami semua sedang bermain di medan baru. Ketika merespons sesuatu yang baru, tentu semua harus memutar otak terkait langkah apa yang harus dilakukan. Itu yang sekarang dilakukan Golkar,” katanya.
Sementara PPP, menurut Sekjen PPP Arsul Sani, saat kampanye akan mempromosikan rekam jejak Ma’ruf. Harapannya, para pemilih Ma’ruf akan memilih pula PPP atau efek ekor jas dari Ma’ruf akan menetes ke PPP.
Efek Sandiaga
Hal yang tidak jauh berbeda terjadi di kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Tiga partai pengusungnya, yaitu Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), awalnya ingin
kadernya menjadi pendamping Prabowo agar efek ekor jas bisa diperoleh. Namun, Prabowo memilih Sandiaga.
Jika mengacu pada teori efek ekor jas, kondisi itu berpotensi banyak menguntungkan Gerindra. Ini karena Prabowo dan Sandiaga sama-sama berasal dari Partai Gerindra meski saat ini Sandiaga telah mundur dari partai tersebut.
Meski demikian, Sekjen PAN Eddy Soeparno meyakini efek ekor jas tetap bisa diraih oleh partainya. ”Bagian dari kesepakatan kami, Sandiaga keluar dari Gerindra sehingga dia menjadi figur independen (di luar parpol) dan efek ekor jas tersebut bisa menetes ke parpol pengusungnya di luar Gerindra,” katanya.
Tentu hal ini dibarengi upaya lain. Salah satunya, saat masa kampanye, dia akan berkeliling bersama calon-calon anggota legislatif (caleg) dan kader PAN. ”Otomatis dampak elektoral dari figur Sandiaga bisa kami peroleh,” ujarnya.
Kalaupun ternyata efek itu tak menetes ke PAN, Eddy mengaku tidak khawatir. ”Dari dulu kekuatan PAN itu di caleg. Dengan kekuatan caleg kami, suara masih aman,” ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid juga meyakini, efek ekor jas tidak akan terlalu banyak berpengaruh pada perolehan suara partainya. Hal ini karena kekuatan figur caleg dan jaringan konstituennya di daerah tetap berpengaruh lebih besar saat pemilu legislatif daripada sosok capres- cawapres yang didukung parpol.
Basis pemilih PKS diyakini cukup rasional dalam memilih dan akan memilih berdasarkan figur caleg di daerah pemilihan masing-masing dan melihat kualitas partainya. ”Meski kami tidak punya kader sebagai capres atau cawapres, apakah kemudian pendukung kami tidak memilih anggota Dewan dari PKS? Kan, tidak juga. Mereka akan melihat caleg PKS berdasarkan kualitasnya,” kata Hidayat.
Sementara itu, Ketua Divisi Advokasi dan Hukum Demokrat Ferdinand Hutahaean mengatakan, partai mitra koalisi akan membicarakan agar efek ekor jas bisa mengalir tidak hanya ke Gerindra, tetapi juga ke partai lain, termasuk Demokrat.
Sejauh ini, Demokrat mengandalkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, untuk mendongkrak suara partai itu di Pemilu Legislatif 2019. Selain itu juga akan dicari cara agar suara Demokrat lebih terdongkrak dengan efek ekor jas. ”Bisa saja nanti diatur, misalnya, AHY sering tampil bersama Prabowo atau Sandiaga saat kampanye,” ujarnya.
Sejak presiden-wapres dipilih langsung oleh rakyat pada Pemilu 2004, kehadiran kader parpol yang menjadi capres memang selalu bisa mendongkrak elektabilitas partai. Hal yang dimaknai sebagai efek ekor jas itu, misalnya, bisa membuat Demokrat meraih suara signifikan di Pemilu 2004, bahkan membuat Demokrat menjadi pemenang Pemilu 2009. Ini tak lepas dari sosok Susilo Bambang Yudhoyono.
Efek ekor jas itu kembali berlanjut pada 2014. Diusungnya Jokowi sebagai capres dari PDI-P bisa mendongkrak elektabilitas partai dan menjadikan PDI-P sebagai pemenang pemilu.
Pada Pemilu 2019, pemerhati politik dari Universitas Paramadina, Toto Sugiarto, melihat hal yang sama bisa terjadi, bahkan bisa saja lebih kuat dampaknya. Pasalnya, pada 2019, pemilu legislatif dan pemilu presiden digelar serentak. ”Calon pemilih kemungkinan masih melihat figur capres atau cawapres yang disukainya, kemudian figur itu identik dengan parpol apa, mereka akan memilih parpol tersebut,” ujarnya.
Sejumlah survei dari lembaga survei setidaknya menunjukkan, elektabilitas PDI-P meraih efek ekor jas lebih banyak dari figur Jokowi daripada parpol lain yang jadi pengusungnya. Hal yang sama berlaku untuk Gerindra dari figur Prabowo.
Maka, tidak heran jika parpol di luar Gerindra dan PDI-P, menurut Toto, harus bekerja lebih keras. Oleh karena kecil kemungkinan parpol memperoleh efek ekor jas yang signifikan, kampanye dan pengerahan mesin parpol pun harus lebih dioptimalkan. Salah satunya dengan mengandalkan kerja keras dan figur kuat dari para calon anggota legislatif di setiap daerah pemilihan.