Kemarau Panjang di Australia Memukul Peternak
Australia sedang menghadapi bencana kekeringan terparah dalam sejarah negara itu yang menimpa daerah- daerah pedalaman. Pengeluaran pemerintah federal untuk mengatasi kekeringan sudah mencapai 576 juta dollar Australia (Rp 6,1 triliun), termasuk bantuan 12.000 dollar Australia bagi setiap keluarga peternak dan bagi mereka yang menderita depresi.
Bantuan 12.000 dollar Australia (Rp 128,4 juta) bagi setiap keluarga peternak diumumkan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull selepas kunjungan ke daerah pedalaman, awal bulan ini.
”Keadaannya lebih buruk daripada yang diberitakan di media, jauh lebih buruk,” tutur relawan Edwina Robertson kepada Turnbull di sebuah daerah pedalaman di Negara Bagian New South Wales (NSW). Seluruh negara bagian seluas 800.642 kilometer persegi—hampir dua kali luas Papua— yang beribu kota Sydney ini terdampak kekeringan. Pemerintah NSW pada akhir bulan lalu mengucurkan satu miliar dollar Australia (Rp 10,7 triliun) untuk mengatasi kekeringan.
Di utara NSW, yakni Negara Bagian Queensland yang beribu kota Brisbane, kekeringan sudah melanda selama enam tahun tanpa ada tanda-tanda hujan akan turun. Dua pertiga wilayah Queensland menderita kekeringan. Tanah-tanah merekah menjadi pemandangan biasa di negara bagian seluas 1,7 juta kilometer persegi atau dua kali wilayah NSW.
Kecuali Tasmania di ujung selatan, semua negara bagian yang lain, termasuk Victoria, South Australia, Western Australia, dan Northern Territory, dilanda kekeringan sejak empat tahun lalu dari tingkat sedang sampai parah. Australia dikenal sebagai benua dengan iklim yang ekstrem. Kekeringan hanyalah salah satu iklim ekstrem di negara itu selain banjir, panas matahari yang menyengat, dan badai.
Oleh karena itu, Australia memiliki ratusan dam di seluruh negeri plus ratusan dam lain yang dibangun sendiri oleh peternak di lahan peternakannya. Saat ini, sudah empat kali terulang kekeringan terparah antara April dan Juni atau dari musim gugur ke bulan pertama musim dingin. Hal ini belum pernah terjadi sejak 1900, tahun ketika Biro Meteorologi berdiri. Curah hujan di musim gugur tahun ini 57 mm di bawah rata-rata atau yang paling kering sejak 1902.
Penduduk kota, yang merupakan 70 persen penduduk Australia, tidak terlalu terusik karena kekeringan merupakan hal biasa. Namun, banyaknya ternak yang mati kelaparan mendapat pemberitaan luas di media. ABC News dan laman news.com menurunkan laporan khusus soal nasib peternak sapi dan domba.
Hewan ternak mati
Di Desa Goolhi, NSW, peternak bernama Les Jones mengatakan, 10 dari 1.200 domba di peternakan seluas 670 hektar miliknya mati setiap hari. ”Kami punya buldoser tua dan suami saya sedang mencari lokasi untuk menggali lubang. Kami tak punya pilihan lain selain menembaknya. Kami sudah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan mereka hidup, tetapi mau apa lagi?” kata Laura, istri Jones, kepada laman news.com.au.
Kathy Smith, pemilik bar di Currrabubula, NSW, bercerita tentang seorang peternak yang mengatakan ongkos pakan bagi domba-dombanya lebih mahal daripada harga domba itu sendiri. ”Dia bilang, ’Kamu tembak domba-domba itu atau kamu tembak kepalamu sendiri?’,” ujar Smith.
Harga seekor domba yang biasanya 300 dollar kini menjadi hanya 16 dollar.
Phil Wakefield, pemilik peternakan di Pooncarie, NSW, pusing memikirkan makanan bagi domba-dombanya. ”Kami sudah membeli rumput kering seharga 100.000 dollar Australia (Rp 1,1 miliar), tetapi tak tahulah apa saya bisa beli lagi karena itu terlalu mahal, belum lagi ongkos angkut 40.000 dollar,” katanya kepada ABC News.
Bev Hicks, peternak di dekat Denman di wilayah Upper Hunter, NSW, mengatakan bahwa ia sudah benar-benar jenuh dengan kekeringan. ”Orang kota perlu tahu apa yang terjadi di pedalaman dan kalau kekeringan berlanjut, harga-harga makanan bisa naik dan pedalaman bisa menjadi cerita masa lalu,” tutur Hicks.
Ia bersedih karena pepohonan miliknya juga mati, termasuk pohon berusia 100 tahun lebih, karena tiadanya uap air di udara.
John Sylvester di New England, NSW, mengatakan, dirinya tak pernah mengalami kekeringan separah ini. ”Tetapi, Anda harus terus bertahan. Kalau tidak, Anda akan habis,” tuturnya kepada ABC News.
Kritik kepada media
Namun, sebagian peternak mengkritik peliputan media yang luas. Mereka mengatakan, media sering terlalu fokus pada sisi negatif dari kekeringan dan memberikan kesan seolah-olah semua peternak membunuh ternaknya.
ABC News melaporkan, David Grieg dari Tottenham, NSW, mengatakan bahwa sebagian besar peternak tak melakukan itu. Adam Williamson, peternak dari kota kecil Scone, NSW, mengatakan, banyak peternak di Queensland dan NSW sudah mempersiapkan diri menghadapi kekeringan dengan cara mengurangi jumlah ternak mereka sebelum kekeringan datang dan menyimpan pakan dalam jumlah besar.
”Kadang sulit memang membuat rencana, tetapi itulah bisnis dan bisnis di sektor apa pun sama. Bedanya, di peternakan, dampaknya adalah ternak bisa mati,” tutur Williamson.
Peternak Australia dikenal kuat dan tahan banting. Mereka berpendapat, pemberitaan yang gencar itu berdampak buruk terhadap citra peternakan.
Australia merupakan benua paling kering kedua di dunia setelah Antartika. Benua ini terletak di wilayah subtropik bertekanan tinggi yang mendorong udara ke bawah—bukan ke atas—yang kemudian menghasilkan hujan seperti halnya di Indonesia yang berada di kawasan khatulistiwa atau di bagian selatan dari ujung selatan Australia.
Curah hujan pada 80 persen Benua Australia hanya kurang dari 600 milimeter setiap tahun. Berada di wilayah subtropik bertekanan tinggi, Australia menjadikan benua yang kering, tetapi ada faktor iklim lain, seperti El Nino dan La Nina.
Menurut Blair Trewin, ahli klimatologi senior, kekeringan ini terjadi karena udara lembab dari wilayah tropis, seperti Northern Territory dan belahan utara Queensland, belum juga bertiup. Juga embusan udara lembab dari Samudra Hindia dari arah barat laut benua ke bagian timur Benua Australia tidak terjadi.