Pencetak Seniman Pangan
Tiga kali hampir bangkrut, Helianti Hilman kini bekerja sama dengan 52.000 petani di seluruh Indonesia. Produknya di bawah bendera Javara telah diekspor ke 23 negara. Agar orang lain tidak mengalami kejatuhan seperti dirinya, Helianti membuka Javara Academy atau Sekolah Seniman Pangan.
Pesertanya anak-anak petani yang belajar mengolah ide dan mewujudkannya menjadi produk yang dicari pasar. Bahan bakunya dari sawah, ladang, kebun, dan hutan yang mendorong mereka masuk ke pertanian.
Dirintis sejak sembilan tahun lalu, PT Kampung Kearifan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Javara kini punya 900 jenis produk dengan 250 di antaranya telah mengantongi sertifikat organik berstandar internasional. Dari jumlah itu, tidak sampai 10 yang diproduksi sendiri oleh Javara, sisanya oleh komunitas petani berdasarkan berbagai skema kerja sama, seperti joint venture, investasi murni, sharing saham, dan pinjaman alat atau modal.
Toko Javara di Jalan Kemang Utara, Jakarta Selatan, bagaikan deretan ekosistem dengan segala kekayaannya yang menjelma menjadi produk siap pakai. Mulai dari hutan, lahan gambut, rawa, lahan kering, hingga kebun dan sawah ladang. Tepung kelapa, tepung sagu, biskuit kelapa, mi bayam, VCO, madu, biji chia, dan ratusan lainnya menghuni rak. Semuanya produk lokal.
Berdampingan dengan area toko tampak meja panjang berisi deretan menu makanan yang bahan bakunya diambilkan dari toko. Di sebelahnya juga terdapat meja panjang dengan deretan kursi. Di sinilah perbincangan dengan Heli, panggilannya, berlangsung setelah sebelumnya ia menemui rombongan petani andaliman dari tepian Danau Toba.
Akhir Agustus ini, bekerja sama dengan Chef Ragil Imam Wibowo, Helianti berencana membuka restorannya sebagai integrasi dari toko bahan organiknya. ”Kami ingin tamu dapat pengalaman shop, eat, and learn. Suka ada yang tanya, ini rasanya gimana? Makan saja, deh, di resto-nya. Ini gimana bikinnya? Belajar, deh, di situ,” kata Heli menunjuk dapur belajar yang terletak di sudut.
Dapur ini menjadi tempat untuk menempa mereka yang mengikuti Sekolah Seniman Pangan jangka pendek yang berlangsung enam hari. Jika tidak sedang dipakai untuk pendidikan, akan digunakan tamu untuk tempat belajar memasak. Di sekolah ini peserta yang sebagian besar merupakan anak-anak petani berusia muda digembleng untuk mengolah ide menjadi produk siap pasar. Pendidikan dimulai dari lidah atau palate sensory education. Peserta selama seharian harus mencicipi berbagai makanan dan minuman untuk mengenali aneka rasa agar kelak mampu mengenali profil produk mereka dan selera pasar. Setelah itu, peserta akan diajari pemetaan pasar, pengembangan produk, hingga menghitung biaya produksi, dan fotografi produk.
”Menghasilkan entrepreneur tidak bisa semalam jadi. Ada orang-orang yang daya juangnya tinggi, dikasih short course sudah bisa. Namun, ada juga mereka yang harus ditumbuhkan dulu perilaku, daya juang, dan mentalnya,” katanya.
Jadi, tambah Heli, ia juga membuat program jangka panjang dua tahun yang bertempat di Bekasi. Delapan bulan di kebun, 6 bulan food processing, dan 6 bulan food service karena setiap petani di sekolah harus bisa masak.
Hingga kini sudah dihasilkan lulusan dari Kupang, Selayar, Flores, Jailolo, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Papua, dan lainnya. Pendidikan ini tidak berbayar, tetapi peserta harus bekerja untuk mengganti biaya pendidikan. Kerja di sini berarti menghasilkan produk dan kemudian mencicil biaya pendidikan lewat produk tersebut berdasarkan kesepakatan. ”Misalnya, mereka produksi 1.000 botol selai kacang, yang 500 botol dijual ke saya, yang 100 botol untuk mencicil biaya pendidikan, sisanya bebas mereka jual,” ujar ibu satu anak ini.
Bekal sekolah
Peserta dituntun selama tiga bulan setelah pendidikan mampu memilih bahan baku yang akan diolah menjadi produk jadi dengan bekal dari sekolah. Mereka juga dilengkapi peralatan yang ringkas dengan kebutuhan listrik kecil untuk meringankan kerja. Dengan cara ini, Heli lebih cepat menghasilkan seniman-seniman pangan seperti dirinya atau farmpreneur alias petani pengusaha.
”If I know better, sudah pasti beda caranya. Enggak bakal hampir bangkrut tiga kali,” kata perempuan yang dulunya berprofesi sebagai penasihat hukum dan konsultan bidang pembangunan ekonomi perdesaan untuk berbagai lembaga internasional.
Heli selalu mendorong petani mencari tanaman unik untuk diolah dan memberinya nilai tambah, terutama untuk petani yang tinggal di daerah terpencil. Petani akan membantu Heli menemukan bahan unik, sedangkan Heli akan meminjamkan kacamatanya yang memahami keinginan pasar dan membantu produk petani sampai ke pasar.
Seperti garam tanaman, produk terbaru yang tengah diolahnya. Suatu kali ia hendak pergi eksplorasi hutan di Papua. Petani lokal yang menemaninya tidak membawa garam, padahal mereka akan lama dan harus masak di hutan. ”Aku tanya, Pace macam mana nanti kita masak kalau tidak bawa garam. Dijawab, tenang Mama, di dalam banyak garam. Ternyata ada tanaman yang ketika dicemplungin ke masakan jadi asin. Gila, ini, sih, seksi banget. Mana ada coba garam dari tanaman. Jadi, langsung kami bawa sama gedebok-gedeboknya untuk cari tahu cara bikin ekstraksinya,” ujar anak dari pasangan Hilman Najib dan Soertiningsih Ramli ini.
Menghidupkan dan melestarikan biodiversitas kemudian menjadi misi Javara. Ketika mengawali Javara, Heli memulai dengan target domestik, tetapi ternyata pasar belum siap menerima. Pertumbuhan dua tahun pertama sangat lambat meski semua supermarket premium sudah dimasuki. Heli kemudian banting setir dengan mengekspor produknya ke Eropa. Momentumnya pas karena konsumen sedang mencari produk organik. Ditambah dengan produknya yang bisa dirunut asal-usulnya, lengkap dengan cerita tentang petani, ekologi, dan biodiversitas, membuat produk Javara diterima dengan baik. Porsi ekspornya pada 2011 yang semula 20 persen melejit menjadi 90 persen pada 2014.
”Saya pikir, enggak benar juga kalau begini. Harus ada partisipasi konsumen lokal kalau mau survive. Akhirnya, kami mulai bangun kesadaran dan kebanggaan konsumsi produk organik lokal. Sekarang porsi ekspor dan pasar lokal hampir sama,” ujar Heli.
Kini, ada 600 titik di seluruh Tanah Air yang menjual produk Javara dengan hanya satu toko yang dikelola sendiri, yakni di Kemang, dan menyusul di Bali yang akan dibuka September mendatang. Heli juga tengah menjajaki membuka toko di Amerika Serikat dan Australia untuk melengkapi upaya diplomasi gastronomi Indonesia.
Spiritualisme pertanian
Pertemuannya dengan petani dari sejumlah daerah yang meminta nasihat hukum kepadanya karena dikriminalisasi oleh korporasi besar memberinya keberanian untuk memulai Javara. Pergaulannya dengan petani di kemudian hari sering kali berbuah pada pengetahuan spritualisme pertanian, seperti diajarkan seorang petani dari Jawa Barat.
Heli dan suami, Dian Patria, pernah 3,5 bulan keliling sejumlah daerah dan tinggal bersama para petani untuk mengetahui kehidupan mereka. Suatu kali, pagi-pagi buta selepas shalat Subuh, Heli diajak pergi ke sawah. Ia kemudian ditegur halus agar melepas sepatunya. ”Kenapa Kang harus lepas sepatu? Kita, kan, mau silaturahim ke bumi dan tanaman, supaya enggak ada jarak,” kata Heli menirukan perkataan sang petani.
Belum cukup, si petani masih meneruskan pertanyaannya, ”Hiji deui, tapi moal tersinggung nyak. Kenapa kang? Mood-nya lagi bagus tidak? Kalau mood-nya lagi tidak bagus, mendingan enggak usah ke sawah, nanti bikin susah padi saya,” kata Heli yang merasa tertampar sekaligus tercerahkan.
Berbagai pengalaman menarik bersama petani, didukung kritikan sang suami dan ibundanya, mendorong Heli bertahan mengembangkan Javara. Setiap dua tahun sekali ia mengirim petani ke Italia untuk belajar bersama petani di sana. Heli menempatkan petani sebagai artis di bawah sorot lampu perhatian. Dengan dukungan pengetahuan dan teknologi yang tepat, Heli percaya, petani Nusantara bisa hidup sejahtera.
Helianti Hilman
Tanggal lahir: Jember, 9 Maret
Pendidikan:
- S-1 Hukum Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung
- Master Hukum Hak Kekayaan Intelektual Kings College, University of London
Pengalaman dan penghargaan:
- Pendiri dan CEO PT Kampung Kearifan Indonesia (Javara) (2008-sekarang)
- EY Indonesia Social Enterpreneur of The Year (2013)
- The Inspiring Women Honor Roll versi Forbes Indonesia (2014)
- Schwab Social Enterpreneur of The Year (2015)
- Top 10 Social Enterpreneurs di Indonesia versi Top Ten Asia (2016)