Tidak mudah menjadikan tari kecak bersinergi dengan elemen-elemen seni lain. Tarian yang berasal dari sejenis tari sakral ini mengandung hukum-hukum artistik yang hampir ”rigid”. Oleh karena itu, pementasan ”Swadharma Ning Pertiwi”, Sabtu (4/8/2018), di kawasan Garuda Wisnu Kencana Cultural Park Bali, terasa kurang utuh.
Pementasan yang berlangsung di Festival Park, kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Bali, memadukan berbagai unsur seni untuk mencapai satu gagasan artistik tentang keikhlasan dan keagungan sebuah persembahan. Para seniman yang terlibat di dalamnya ingin membuat satu inagurasi yang impresif sebagai penanda zaman bahwa patung GWK karya Nyoman Nuarta akhirnya rampung setelah dibangun 28 tahun. Oleh karena itu, sutradara Wawan Sofwan mencoba mengikat tarian, musik, lagu, seni rupa, tata cahaya, dan narasi dengan komposisi gerak dan vokal dari ratusan penari kecak. Ia merasa perlu melibatkan penari kawakan I Ketut Rina yang menjadi pemimpin kelompok Cak Rina dengan anggota berjumlah ratusan penari. Tak tanggung-tanggung Wawan juga mendatangkan koreografer Eko Supriyanto untuk menata seluruh gerak tari para aktornya.
Kecak sebagaimana yang dikomposisi Walter Spies dan I Wayan Limbak tahun 1931 berasal dari tari sanghyang, tarian ritual penolak bala di daerah Bedulu, Gianyar, Bali. Dalam komposisi yang digarap Spies dan Limbak, orkestrasi vokal menjadi hukum artistik yang rigid. Hukum frase vokal, seperti Cak Ocel, Cak Mekilit, Cak Nem, dan Cak Nyelah, menjadi dasar utama tarian ini disebut sebagai kecak. ”Hukum inilah yang membuat cak disebut cak,” kata seniman I Wayan Dibia. Dibia tahun 1990-an pernah membuat komposisi bertajuk Body Cak dengan koreografer Amerika Serikat, Keith Terry.
Sebenarnya, kata Dibia, esensi kecak bukan pada jumlah pemain dan koreografi, tetapi pada orkestrasi vokal. ”Meski berjauhan karena banyak pemain, orkestrasi vokal harus yang utama,” katanya.
Rupanya, sinergi yang dilakukan Wawan, Rina, dan Eko tak berjalan dengan mulus. Bahkan, bisa jadi ketiganya gagal memahami esensi dari seni kecak sehingga kesulitan melakukan kolaborasi dengan liukan tari Garuda dari Keni Soeriatmaja. Bahkan, ratusan penari kecak hanya jadi penari latar ketika Ayu Laksmi menembangkan lagu ”Maha Asa”. Begitupun ketika Dira Sugandi membawakan lagu ”Manusia Baru”, penari kecak yang rebah tak berkutik hanya latar yang tak bernyawa.
Permainan api
Wawan mencoba menafsir pembuatan GWK yang berunsur logam dan api. Ia kemudian memasukkan sejumlah penari api sekaligus merespons permainan api yang menjadi ciri khas Cak Rina. Kedua suguhan ini ditimpa dentuman musik yang digarap Sinyo, sesungguhnya menjadi puncak pertunjukan. Apalagi, narasi yang dibacakan Gung Ocha dimulai dengan pertanyaan, ”Pernahkah kau mendengar api yang menyatukan?”
Pada kasus pembuatan GWK, api memang menjadi unsur penting dalam mengonstruksi tubuh patung. Lewat teknik pengelasan, patung seukuran 25.000 meter persegi dan terdiri atas 754 modul (keping besar) itu bisa menyatu dan berdiri dengan kukuh. Bahkan, dalam tafsir pentas, api hadir secara simbolik untuk melelehkan berbagai perbedaan yang ada di Indonesia. Keberagaman adalah kekayaan yang kemudian membentuk kesatuan kebudayaan bernama Indonesia.
Ketika tarian api berakhir, suasana berubah mengharukan. Hujan yang tadinya gerimis, tiba-tiba menderas. Di kaki-kaki cahaya tampak jatuhan air menimpa ratusan seniman, termasuk dua penyanyi Ayu Laksmi dan Dira Sugandi. Ribuan penonton yang hadir dari sejumlah kota tidak beranjak menyaksikan keteguhan para pendukung acara di panggung. Mereka memilih meneruskan menonton, terutama menanti sesi video mapping yang digarap kelompok Seeds Motions Bandung. Sekelompok anak muda ini menggunakan belasan proyektor untuk menjangkau sosok GWK yang jaraknya di ketinggian ratusan meter.
Di tengah guyuran hujan dan sayup-sayup lagu ”Padamu Negeri”, cahaya meluncur dalam berbagai komposisi. Bermula dari latar panggung yang memajang karya instalasi Rubi Roesli, cahaya perlahan memanjat tebing-tebing karang untuk kemudian menggapai sosok Garuda dan Wisnu. Video mapping mencoba menarasikan awal mula penciptaan patung GWK, keping demi keping untuk kemudian utuh sebagai sosok mahakarya. Bahkan, dalam beberapa sesi, GWK diproyeksikan sedang mengepakkan sayap diiringi pekikan suara Garuda yang meruang ke angkasa.
Permainan video mapping itu menjadi inagurasi yang memperlihatkan sosok patung GWK secara utuh kepada penonton. Selama pertunjukan, keberadaan GWK yang berjarak ratusan meter dari Festival Park tidak pernah diperlihatkan. Oleh karena itu, ketika perlahan-lahan sosok unggas yang dikendarai seorang dewa itu muncul, banyak penonton yang berteriak histeris. Mereka seolah menyaksikan keajaiban turun dari kekelaman langit dan bertengger di Bukit Ungasan, Jimbaran, Bali.
Secara tiba-tiba hujan pun berhenti. Maka itulah momen untuk saling menguatkan. Banyak di antara penonton yang berlari dan memeluk Nyoman Nuarta, sang pencipta GWK. Sebagian di antaranya memburu para artis pendukung dan kemudian berfoto bersama. ”Secara ikhlas karya ini saya hadiahkan untuk Republik Indonesia yang berulang tahun,” kata Nyoman Nuarta, menutup acara malam itu.
Lampu-lampu di bukit-bukit kapur perlahan meredup, tetapi bintang-bintang bertaburan di langit. Mungkin langit memberi restu persembahan para anak bangsa kepada negaranya yang sedang berulang tahun ke-73. (CAN)