Boleh jadi para petualang Barat seperti Miguel Covarrubias, yang menjelajah Bali tahun 1930-an, luput memetakan tepian barat dari pulau kecil ini. Meski menjuluki Bali sebagai ”the last paradise” dalam buku Island of Bali (1937), Covarrubias tak menyinggung Gilimanuk. Padahal, di kisaran Bali belahan barat ini menghampar keindahan yang tak habis-habis direguk.
Sore hari menjadi waktu yang tepat untuk melayari Teluk Gilimanuk. Selain air laut yang menyurut, kita bisa menikmati lanskap gunung dan pulau-pulau yang disepuh warna jingga. Sangat mudah menemukan perahu motor yang bisa mengantar kita menyinggahi beberapa pulau kecil di kawasan teluk. Cukup Rp 250.000 untuk 6-8 orang dalam satu perahu. Di kawasan teluk sudah terdapat kelompok pengemudi perahu wisata bernama Gili Bahari yang beranggota 15 perahu. Komang Jinggo (45), salah satu pengemudi perahu, menuturkan, ada beberapa tawaran menarik jika ingin menjelajah Teluk Gilimanuk.
”Bisa cuma melihat pulau atau mengarungi Selat Bali sampai ke Gunung Prapat Agung,” kata Jinggo, pertengahan Juni 2018. Gunung Prapat Agung termasuk bagian dari Taman Nasional Bali Barat (TNBB) yang membentang di pesisir barat Pulau Bali. ”Kita bisa melihat babi hutan dan binatang liar lainnya,” kata Jinggo. Tetapi, karena hari menjelang malam, pelayaran kami hari itu hanya sampai merapat di tepian Pasir Putih, sebuah semenanjung yang terlihat anggun dari Pelabuhan Gilimanuk.
Saat air surut pulau-pulau kecil yang ditumbuhi bakau, seperti Pulau Kalong, Pulau Burung, dan Pulau Gadung, bisa didarati. Kita bisa menjelajah pulau untuk melihat sarang bangau putih dan kalong yang berumah di dahan-dahan bakau. Lebih penting dari itu, pulau-pulau ini 2000 tahun silam menjadi kawasan permukiman Manusia Gilimanuk, manusia prasejarah yang pernah menghuni kawasan Teluk Gilimanuk. Kini sekitar teluk terdapat Museum Manusia Gilimanuk di tengah-tengah situs purbakala seluas 53 hektar itu.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Jembrana I Nengah Alit, salah satu andalan pariwisata Bali barat adalah Teluk Gilimanuk. ”Selain wisata air, ada situs manusia purba,” katanya. Di Teluk Gilimanuk, tambahnya, para wisatawan juga bisa melakukan diving atau snorkeling di beberapa kawasan dalam lingkup TNBB. ”Saya jamin karang lautnya masih natural,” ujar Alit.
Di kawasan situs Manusia Gilimanuk, sejak tahun 1964 para arkeolog telah menemukan setidaknya 300 individu yang terkubur di dasar pasir. Rangka manusia purba itu umumnya dikubur dalam tempayan dengan bekal kubur seperti manik-manik, kalung dan gelang dari lokan, tulang hewan, peralatan dari tembikar dan logam. ”Situs ini menjadi salah satu andalan di Gilimanuk,” kata Alit.
Wisata kuliner
Kekayaan sejarah di Gilimanuk bertambah lagi dengan kehadiran kuliner lokal, yang kini merebak di mana-mana, bernama: ayam betutu gilimanuk. Akhir tahun 1970-an Men Tempeh mengembangkan varian betutu khas Gilimanuk yang berbeda dengan jenis betutu di Bali tengah seperti Denpasar dan Gianyar.
Sebaiknya sebelum mengarungi Teluk Gilimanuk, jika Anda berangkat dari Banyuwangi dan menyeberangi Selat Bali, singgah untuk makan siang di bekas Terminal Gilimanuk. Di sini kini terdapat sekitar delapan rumah makan yang menyajikan menu ayam betutu. Tentu saja warung Ayam Betutu Men Tempeh salah satu rumah makan paling legendaris. Dari perempuan bernama Ni Wayan Tempeh inilah ayam betutu gilimanuk mencapai martabat tertinggi sebagai kuliner yang pantas diburu. Ia bersama suaminya, I Nyoman Suratna, mulai berjualan ayam betutu pada tahun 1978 di Terminal Bus Gilimanuk. ”Dulu pembelinya para sopir dan kenek bus,” kata Suratna.
Meski Terminal Bus Gilimanuk sudah dipindahkan ke area dekat pelabuhan, pesona ayam betutu tidak pudar. Warung-warung yang menyajikan menu serupa bahkan merebak sampai ke kota Negara, ibu kota Jembrana dan Denpasar. ”Mencicipi kuliner lokal di tempatnya langsung itu berbeda,” kata Alit. Oleh karena itu, ia tak sungkan membawa para tamunya dari luar Bali menuju Gilimanuk.
Catatan Covarrubias dan para peneliti Bali, seperti Michel Picard dan Adrian Vickers, harus segera dilengkapi dengan tepian surgawi di belahan barat Bali. Pada Juli sampai Agustus setiap tahun selalu digelar pacuan kerbau bernama mekepung. Pacuan kerbau berbeda dengan karapan sapi di Madura. Mekepung menggunakan sepasang kerbau dan kereta dengan seorang joki yang berdiri di atas kereta. Arena pacuan selalu dilakukan di jalan-jalan tanah pedesaan atau persawahan. Kini terdapat arena pacuan di Desa Tuwed dan Desa Kaliakah untuk kawasan barat Sungai Ijogading dan Desa Mertasari serta Desa Delod Berawah untuk kawasan timur Sungai Ijogading.
Seorang pemilik kerbau pacuan, I Komang Lara (60), mengatakan, kelompok pacuan dibagi dalam dua blok, yakni Blok Timur dan Blok Barat, dengan batas tengah Sungai Ijogading, yang membelah kota Negara. ”Ini arena sukacita petani sehabis panen padi biasanya,” kata Komang Lara.
Secara kebudayaan, kata Alit, daerah Bali barat cenderung sedikit keras dan lugas dibandingkan dengan Bali bagian tengah. ”Kulinernya pedas dan kebudayaannya pacuan kerbau, yang menguras tenaga,” ujar Alit. Hal itu setidaknya menunjukkan, secara kultural, Bali barat lebih terbuka terhadap berbagai unsur kebudayaan dari luar. Karena itulah, secara bentuk, banyak artefak kebudayaan dan seni yang mirip dengan bentuk-bentuk kebudayaan di Jawa bagian timur. Bentuk kebudayaan yang hibrid ini justru menjadi keistimewaan Jembrana sebagai daerah paling barat dari Pulau Bali.
Jika ingin lebih bersantai di sore hari, boleh juga berkunjung ke Puncak Mawar yang berlokasi di Banjar Dewasana, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana, hanya 15 menit dari pusat kota Negara. Dari ketinggian 430 meter di atas permukaan laut, Anda bisa menyaksikan tepian paling barat dari ”Pulau Dewata”. Pelan-pelan matahari yang pulang menyepuhkan sinarnya di gugusan perbukitan dan lembah. Pelan-pelan pula kita menikmati berkah keindahan tiada tara dari tepian surgawi….