Ilmuwan Diaspora Indonesia Siap Berkolaborasi
Para ilmuwan Indonesia berdiaspora ke sejumlah negara. Kontribusi mereka untuk meningkatkan daya saing bangsa dinanti.
JAKARTA, KOMPAS— Ratusan ilmuwan diaspora Indonesia terdata di sejumlah perguruan tinggi dan perusahaan di luar negeri. Mereka berpotensi membantu meningkatkan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia untuk meningkatkan daya saing bidang inovasi.
Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Sabtu (11/8/2018), mengatakan, sejak 2016, Kemenristek dan Dikti memiliki program untuk berkolaborasi dengan ilmuwan diaspora Indonesia di luar negeri. Sedikitnya 200 ilmuwan diaspora berkiprah di sejumlah perguruan tinggi di dunia, termasuk memiliki posisi sebagai pemimpin akademik.
Sejumlah negara lain, seperti China, Korea Selatan, dan India, memanfaatkan ilmuwan diaspora mereka di dunia untuk mendukung daya saing bangsa.
”Penghargaan kita pada ilmuwan diaspora tak lagi sekadar seremonial. Kita ajak berkolaborasi dengan ilmuwan dalam negeri untuk mempercepat peningkatan daya saing bangsa,” kata Ghufron yang juga Ketua Dewan Pembina Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I-4).
Melalui program Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) 2018 di Jakarta pada 12-18 Agustus, 48 ilmuwan diaspora dipastikan hadir di Indonesia. Mereka berasal dari 11 negara, meliputi Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Australia, Inggris, Swedia, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada.
Berbagi ilmu
Selama sepekan, mereka diwajibkan berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman, menjalin relasi, dan berkolaborasi menghasilkan riset gabungan, publikasi bersama ilmuwan dalam negeri. ” Para ilmuwan dari perguruan tinggi negeri dan swasta dalam negeri bisa menimba pengalaman dari mereka, termasuk menciptakan atmosfer akademik yang mendukung riset dan inovasi,” kata Ghufron.
Para ilmuwan dari perguruan tinggi negeri dan swasta dalam negeri bisa menimba pengalaman dari mereka, termasuk menciptakan atmosfer akademik yang mendukung riset dan inovasi.
Terkait SCKD 2018, Ghufron menyatakan, program itu tidak sekadar mengembangkan ilmu pengetahuan Indonesia, tetapi mempererat tali kebangsaan. Sebab, tiap ilmuwan diaspora akan disebar ke sejumlah daerah di Indonesia untuk bertemu dan bekerja sama dengan mitra risetnya di Indonesia dan akademisi di perguruan tinggi. Ada 55 perguruan tinggi akan dikunjungi para ilmuwan diaspora ini.
”Hal ini jadi bukti ilmu pengetahuan merekatkan, bukan menyekatkan. Program bersama ilmuwan diaspora harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk pengembangan sumber daya manusia Indonesia melibatkan semua komponen anak bangsa di mana pun berada,” ujarnya.
Ghufron menjelaskan, para ilmuwan diaspora yang hadir telah diseleksi secara ketat dengan melibatkan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan I-4). Kegiatan SCKD yang digelar sejak 2016 disambut antusias oleh para ilmuwan diaspora. Sejak dibuka pendaftarannya pada bulan Juni silam, ada 120 ilmuwan diaspora mendaftar program ini.
"Mereka ini datang ke Indonesia tidak hanya untuk pulang kampung, berbincang dengan akademisi dan ilmuwan Indonesia mengenai pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga ikut berkontribusi menyusun rekomendasi kebijakan pembangunan SDM Indonesia," kata Ghufron yang juga Guru Besar Universitas Gadjah Mada.
Awalnya program kolaborasi dengan ilmuwan diaspora Indonesia ini pada 2016 dinamakan Visiting World Class Professor. Sejak 2017 program itu berubah menjadi SCKD. Ilmuwan diaspora yang dihadirkan pun tidak serta-merta orang yang sama. Bahkan, kali ini banyak wajah baru yang diberi kesempatan mengikuti SCKD Tahun 2018.
"Banyak ilmuwan diaspora yang hadir adalah mereka yang masih muda. Kendati demikian, prestasi dan sepak terjangnya sudah luar biasa, bahkan diakui oleh dunia. Para anak muda inilah yang memiliki kesempatan panjang untuk membawa Indonesia ke puncak ilmu pengetahuan dunia," kata Ghufron.
Para ilmuwan diaspora yang terpilih sudah memiliki jabatan akademik minimal assistant professor di institusinya. Tercatat, ada tujuh assistant professor, 14 associate professor, 10 profesor, dan sisanya ialah dosen senior yang jadi pemimpin bidang akademik seperti dekan atau kepala pusat riset, serta ada pula yang jadi peneliti profesional. Latar belakang keahlian mereka beragam, dari mulai kedokteran, biologi molekular, energi, teknik kimia, teknik elektro, farmasi, tata kota, pangan, kemaritiman, dan bidang ilmu sosial.
Kolaborasi antara ilmuwan diaspora dengan akademisi dalam negeri telah menghasilkan puluhan penelitian dan publikasi bersama di jurnal-jurnal internasional bereputasi. Tak hanya itu, sejumlah ilmuwan diaspora memberi kesempatan untuk memobilisasi dosen Indonesia ke perguruan tinggi kelas dunia. Di sisi lain, jembatan komunikasi berkelanjutan antara para ilmuwan diaspora dengan akademisi Indonesia pun terbangun.
"Hubungan dan jaringan itu terus dibina dan dipelihara. Segenap bangsa Indonesia harus merapatkan barisan, menyamakan derap langkah untuk menghadapi persaingan sehingga mewujudkan Indonesia yang lebih cerah di masa depan" kata Ghufron.
Secara terpisah, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir mengatakan perguruan tinggi Indonesia harus ditingkatkan menjadi berkelas dunia, baik institusi maupun ristenya. Para ilmuwan diaspora Indonesia di berbagai negara berperan strategis membantu pengembngan perguruan tinggi dan riset Indonesia yang bekelas dunia.