Kekerasan di Sekolah, dari Penamparan hingga Jilat Toilet
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan di sekolah dengan dalih mendisiplinkan anak masih sering terjadi. Sejak April hingga Juli 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat 33 kasus pelanggaran hak anak.
Dari 33 kasus tersebut, 10 kasus terkait anak menjadi korban kebijakan, 2 kasus pungutan liar di sekolah, 2 kasus anak tidak boleh ikut ujian, 1 kasus penyegelan sekolah, 5 kasus anak putus sekolah dan dikeluarkan dari sekolah, serta 13 kasus anak menjadi korban perundungan atau kekerasan.
Kasus-kasus tersebut terjadi di DKI Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang Selatan, Depok, Garut, Purwokerto, Yogyakarta, Mojokerto, dan Bali. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan, kekerasan di sekolah berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak.
”Kekerasan tersebut dapat menimbulkan trauma berat, cedera fisik, bahkan sampai mengakibatkan kematian pada anak,” ujar Retno dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (13/8/2018).
Ia mengatakan, sebagian guru menganggap, siswa hanya dapat didisiplinkan dengan hukuman yang memiliki kecenderungan pada tindak kekerasan. Padahal, siswa dapat dididik dengan melakukan cara yang positif, seperti memberikan penghargaan atau memberikan contoh yang baik.
Beberapa contoh kasus kekerasan pada murid yang dilakukan guru dengan dalih mendisiplinkan antara lain kasus MB, siswa kelas IV SD Negeri di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. MB dihukum RM, gurunya, dengan menjilat kloset karena lupa melaksanakan tugas membawa pupuk kompos.
Hukuman jilat kloset diperintahkan sebanyak 12 kali, tetapi baru pada jilatan keempat, MB muntah. ”Hukuman ini membuat korban menjadi trauma,” kata Retno.
Kasus lain terjadi di Purwokerto, Jawa Tengah. Seorang guru sekolah menengah kejuruan berinisial LK menghukum siswa berinisial L yang terlambat masuk kelas. L ditampar LK dengan sangat keras. Bahkan, LK menggunakan ancang-ancang dan sampai terhuyung setelah menampar.
Akibat penamparan tersebut, telinga korban mendengung selama beberapa hari. Pukulan semacam ini dapat mengakibatkan gendang telinga korban pecah. Guru tersebut kemudian dilaporkan oleh orangtua korban ke polisi dan saat ini masih dalam proses hukum.
Korban meninggal
Kekerasan dengan dalih untuk mendisiplinkan dapat mengakibatkan kematian pada korban. Di Bali, siswi salah satu SMA negeri di Denpasar berinisial SA (15) meninggal karena diduga kelelahan setelah mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS).
Diduga, SA diberikan tugas yang sangat banyak setiap hari sehingga membuatnya stres dan kelelahan. Ia meninggal pada hari terakhir MPLS, yaitu 20 Juli 2018. Sebelum meninggal, kondisi SA sangat lemah dan mengalami kejang-kejang sebelum dibawa ke rumah sakit.
Kasus lain terjadi di Gianyar, Bali, pada 6 Agustus 2018. NK (16), siswi salah satu SMK di Gianyar, meninggal saat mengikuti latihan gerak jalan untuk menyambut HUT Ke-73 RI. Ia diduga kelelahan karena mengikuti serangkaian latihan di terik matahari tanpa mempertimbangkan aspek kesiapan kesehatan fisik dan mental calon peserta.
Rekomendasi
KPAI mendorong dinas pendidikan di sejumlah daerah untuk mempercepat program Sekolah Ramah Anak. Salah satu indikatornya, sekolah tersebut tidak mengedepankan hukuman dalam pembinaan terhadap siswa.
Mereka juga mendorong pemerintah untuk memiliki program peningkatan kapasitas guru dalam pelaksanaan manajemen pengelolaan kelas secara berkelanjutan. Hal tersebut diperlukan agar guru dapat menangani anak-anak yang bermasalah tanpa kekerasan.
Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak, Ai Maryati Solihah, mengatakan, dalam proses pendisiplinan, terdapat aturan yang perlu dipahami guru. ”Cara pandang guru perlu diubah. Peraturan perlu dilaksanakan, tetapi secara tidak semena-mena,” ujarnya.