Menepis Isu SARA dalam Pemilu 2019
Sebagian masyarakat masih khawatir isu-isu SARA serta kampanye hitam dengan menggunakan konten berisi hoaks dan ujaran kebencian masih akan digunakan dalam Pemilu Presiden 2019.
Kamis, 9 Agustus 2018, setelah melalui tarik-menarik yang alot di setiap kubu koalisi partai politik, akhirnya mereka mendeklarasikan calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung pada pemilu presiden tahun depan. Pasangan itu adalah Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno.
Teka-teki mengenai siapa calon wakil presiden yang akan mendampingi bakal calon presiden Jokowi dan Prabowo, yang sebelumnya sempat menjadi tanda tanya, menjelang hari terakhir pendaftaran pasangan calon, yakni Jumat (10/8/2018), terjawab sudah. Di kubu Jokowi, terpilihnya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden cukup mengejutkan. Pasalnya, pada jam-jam akhir sebelum deklarasi, nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD justru santer disebut akan mendampingi Jokowi.
Dipilihnya Ma’ruf Amin mendampingi Jokowi karena Ma’ruf Amin merupakan tokoh agama yang dapat menjawab tantangan politik Indonesia saat ini, di mana negeri ini membutuhkan kepemimpinan kombinasi nasionalis dan religius (Kompas, 10/8/2018). Dengan demikian, dipilihnya Ma’ruf Amin diharapkan mampu menangkal berbagai isu dan tudingan bahwa Jokowi kurang berpihak kepada umat Islam. Hal yang lebih penting lagi, dengan posisi KH Ma’ruf Amin, yang merupakan ulama dihormati, penggunaan isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), terutama agama, dalam kampanye dan kontestasi Pilpres 2014 lalu dapat diredam, bahkan dihilangkan.
Di kubu Prabowo, kemunculan Sandiaga sebagai bakal cawapres, yang berlatar belakang pengusaha dan dikenal berkarakter santun, diharapkan juga membuat kontestasi Pilpres 2019 akan lebih damai dan kondusif.
Namun, kontestasi yang mengulang situasi Pilpres 2014, di mana ada dua kandidat presiden yang kembali berhadap-hadapan antara Jokowi dan Prabowo pada Pilpres 2019, ini tetap mengundang kekhawatiran publik seperti tergambar dari jajak pendapat.
Separuh responden (51 persen) merasa khawatir kondisi kebatinan warga bangsa yang seakan terbelah pada Pilpres 2014 akan terulang lagi. Selain itu, kekhawatiran masyarakat bahwa penggunaan isu-isu SARA pada Pilpres 2014 lalu masih akan ”laku” di masyarakat dan digunakan pada masa kampanye pilpres mendatang masih cukup besar.
Masih digunakan
Hasil jajak pendapat juga mengungkap 44 persen responden meyakini bahwa isu SARA masih akan digunakan dan dipercaya orang dalam masa kampanye pilpres mendatang. Hanya sekitar 25 persen responden yang berpendapat bahwa dalam pilpres mendatang penggunaan isu-isu SARA tidak akan lagi laku di mata publik.
Kekhawatiran publik bahwa isu-isu SARA masih akan ”laku” dalam kampanye pemilu nanti ini tidak bisa dilepaskan dari tingginya keyakinan responden terhadap keberadaan peserta pemilu yang menggunakan isu SARA. Lebih dari 43 persen responden menengarai fenomena peserta pemilu menggunakan isu SARA dalam kampanye-kampanye pemilu, termasuk pilkada selama ini.
Selain isu SARA, sebagian besar responden juga masih mengkhawatirkan munculnya kembali kampanye hitam yang menyerang lawan dengan fabrikasi berita-berita bohong (hoaks) dalam masa kampanye pilpres mendatang. Sekitar 18 responden sangat khawatir dan lebih dari 51 persen merasa khawatir kampanye hitam akan marak selama masa kampanye nanti.
Trauma publik terhadap kampanye hitam, terutama di media-media sosial yang mewarnai kampanye Pilpres 2014, ternyata masih membekas dan belum hilang dari ingatan mereka.
Potensi konflik
Melihat situasi tersebut, tak mengherankan jika publik juga khawatir isu SARA itu akan memicu konflik horizontal di masyarakat. Lebih dari separuh responden (51,5 persen) merasa khawatir dan lebih dari 14 persen merasa sangat khawatir akan terjadi konflik dalam masa kampanye mendatang.
Namun, kendati sebagian publik merasa khawatir dengan penggunaan isu-isu SARA, hal itu tidak memengaruhi antusiasme publik terhadap pilpres itu sendiri. Tak kurang dari 56 persen responden menyatakan tidak akan terpengaruh untuk mengikuti kegiatan dalam Pilpres 2019. Bahkan, bagi sebagian responden (34 persen), kondisi bangsa yang seakan terbelah saat Pilpres 2014 tersebut justru membuat mereka semakin peduli menghadapi pilpres mendatang. Kondisi ini di satu sisi cukup menggembirakan karena ada harapan bahwa situasi Pilpres 2019 akan lebih kondusif dan damai dibandingkan dengan Pilpres 2014.
Untuk menghindari terjadi konflik dan Pilpres 2019 berjalan damai dan aman, ajakan Jokowi saat berpidato di Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah mendaftarkan diri, yakni menjadikan proses Pilpres 2019 menjadi ajang demokrasi yang riang gembira, perlu menjadi perhatian semua pihak.
Pada saat itu, Jokowi menyatakan, demokrasi bukan ajang perang ataupun permusuhan, melainkan ajang mengadu gagasan, rekam jejak, dan prestasi. Ia juga meminta jangan sampai perbedaan politik membuat masyarakat saling bermusuhan. Ajakan untuk menciptakan proses pilpres mendatang damai juga diserukan oleh Prabowo. Prabowo menegaskan, demokrasi adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang terbaik. Pergantian pemerintahan harus berjalan aman, damai, dan jujur.
Sikap tegas
Untuk mengantisipasi kampanye hitam dalam kampanye Pilpres 2019, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) akan bersikap tegas terhadap pelanggar hukum, terutama yang menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian. Polri menggandeng berbagai elemen masyarakat untuk memperkuat langkah- langkah pencegahan (Kompas, 11/8/2018).
Ketegasan aparat hukum dalam menangkal berbagai upaya penyebaran kampanye hitam, hoaks, ataupun ujaran kebencian memang menjadi hal yang sangat krusial saat ini.
Harapan akan terciptanya Pilpres 2019 yang damai dan demokratis benar-benar akan terwujud. Namun, satu hal yang lebih penting adalah bagaimana para elite bisa menahan diri dan jangan lagi menggunakan isu-isu SARA sebagai komoditas politik selama pilpres.