Merayakan Perbedaan di Bawah Kolong Jembatan
Padang Indian Ocean Music Festival 2018 yang berlangsung di kolong Jembatan Siti Nurbaya, Batang Arau, Padang Selatan, 3-5 Agustus 2018, telah menjelma menjadi simbol kebersamaan, tempat siapa pun bisa menikmati dan merayakan perbedaan.
Jam menunjukkan pukul 21.00, Jumat (3/8/2018), ketika kelompok musik PentasSakral naik ke panggung. Tak menunggu lama, kelompok asal Tunggul Hitam, Koto Tangah, Kota Padang, itu langsung menghangatkan suasana dengan karya berjudul ”Dendang Cinta Ranah Pesisir”.
Suara dua perempuan, yakni Nina Rianti (56) dan Nanda Wirawan (36), yang menyatu dengan instrumen, mulai dari talempong, gendang, gitar, bas, biola, cello, bansi, hingga jimbe yang dimainkan tujuh pemain musik, langsung menyihir ratusan pasang mata yang menonton.
”Riuh rendah senandung gelombang, seratus kanak-kanak berlari di pantai. Riuh rendah senandung gelombang, seratus kanak-kanak tak hendak pulang. Sepanjang langkah tak ingin berhenti, sepanjang pesisir masih berjanji”, lirik syarat makna itu mengalun dari mulut kedua perempuan itu.
Penonton, baik laki-laki maupun perempuan, tua dan muda, hingga anak-anak yang duduk lesehan di aspal seolah tak mau mengalihkan pandangan dari panggung. Kepala mereka mengangguk-angguk, jari-jari tangan mereka mengetuk, dan kaki turut dihentakkan. Beberapa anak kecil bahkan berdiri, kemudian berlari ke depan panggung. Tanpa peduli panggilan orangtuanya, pinggul mereka bergoyang mengikuti alunan musik.
PentasSakral, yang berdiri sejak 1991 mengusung musik sastra atau aktualisasikan puisi, malam itu menjadi pembuka Padang Indian Ocean Music Festival (PIOMFest) 2018. Mereka membawakan empat karya, yakni puisi dan lagu ”Dendang Cinta Ranah Pesisir” karya Alda Wimar dan Ikhwanul Arifin serta puisi dan lagu ”Hitam Merah Kuning Padangku” karya Alda Wimar.
Selain itu, ada juga puisi ”Lautan Bernyanyi Gelombangpun Teduh” karya Alda Wimar yang digubah oleh Nina Rinati dan Arlen dan puisi ”Sebumi Rindu” karya Muhamamad Ibrahim Ilyas yang digubah oleh Nina Rianti.
”Kami punya banyak karya. Mengingat PIOMFest ini tentang daerah pesisir jadi puisi dan lagu yang kami pentaskan bercerita tentang pesisir,” kata Nina.
Kelompok Flame of the Forest asal Singapura yang beranggotakan anak-anak muda keturunan Melayu, India, dan Tionghoa, juga sukses menghentak panggung dengan memadukan musik tradisional dan modern. Adapun Lakshman Das Baul dari Kalkutta, India, membawa penonton larut dalam perenungan mendalam dengan musik spiritual yang berisi ungkapan tentang cinta, kesedihan, dan kebahagiaan, serta hubungan antara manusia dan Tuhan.
Eric Triton asal Mauritius, Afrika, yang tampil bersama Shakti Shane Ramchurn asal India berkolaborasi menyuguhkan musik berjenis afro oriental blues. Petikan gitar Eric yang begitu kuat berpadu apik dengan alat musik perkusi yang dibawakan Shakti, seperti tabla, jimbe, dan darbuka (gendang berbentuk piala).
Dol Mayangsari menutup PIOMFest 2018 hari pertama dengan memainkan dol atau gendang khas Bengkulu. Gerakan pemain yang lincah disertai pukulan pada dol yang begitu dinamis sukses menghangatkan malam dan membuat penonton tak perlu berpikir ulang untuk datang di hari kedua PIOMFest 2018.
Eric Triton (memegang gitar) asal Mauritius, Afrika, yang tampil dengan Shakti Shane Ramchurn (duduk) asal India berkolaborasi pada Padang Indian Ocean Music Festival (PIOMFest) 2018 di bawah Jembatan Siti Nurbaya, Batang Arau, Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat, Jumat (3/8/2018).
Sejumlah penampil lain yang hadir di hari kedua dan ketiga, yakni pasangan suami istri asal Jepang, Katsu Mizumachi dan Miho Mizumachi, yang menggabungkan rasa musik Jepang dan Irlandia. Saat tampil Sabtu malam, di hadapan penonton yang lebih ramai dari malam pertama, pasangan ini juga membawakan lagu berjudul ”Mentawai Wave”. Lagu itu bercerita tentang ombak Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Mereka menulis lagu itu ketika ke Mentawai tiga tahun lalu.
Selain itu, ada juga Wilmer Montoya asal Peru yang menyuguhkan nada-nada sendu dari alat musik bambu pan pipe flute, Ba Ria Van Tau asal Vietnam, serta perwakilan Sumbar lain, seperti Darak Badarak dari Kota Pariaman dan Sawahlunto New Ensamble dari Kota Sawahlunto.
Berbaur
Di bawah kolong Jembatan Siti Nurbaya, salah satu ikon pariwisata Kota Padang, musisi lintas negara, penonton, baik dari Sumbar maupun luar Sumbar, hingga wisatawan mancanegara, berbaur menikmati suguhan musik yang juga beragam. Mereka bernyanyi, bergoyang, bertepuk tangan, larut bersama dalam nada dan irama tanpa perlu melihat asal usul.
Syafrizal (57), salah satu warga, mengatakan, selain memperkaya khazanah musik, kehadiran PIOMFest sangat berarti baginya, terutama memperkuat rasa kebersamaan masyarakat di kawasan pesisir. ”Itulah fungsi musik. Musik adalah bahasa universal yang semua orang bisa mengerti, tak mengenal batas-batas bahasa,” kata ahli konstruksi perkebunan asal Duri Indah, Padang Timur, itu.
Musik adalah bahasa universal yang semua orang bisa mengerti, tak mengenal batas-batas bahasa,
Eric Triton yang sangat menikmati penampilan dan kagum dengan hangatnya sambutan penonton di Padang mengatakan, PIOMFest adalah festival yang sangat bagus. ”Saya sangat menikmati ketika orang-orang mendengarkan dan ikut bernyanyi bersama. Panggung di bawah jembatan ini juga unik dan orisinal. Sulit ditemukan di luar negeri sana yang biasanya harus bayar,” kata Eric.
Menurut Eric, festival seperti PIOMFest memang penting untuk mendekatkan musik bagi semua orang. ”Musik adalah milik bersama, tak peduli apakah kamu kaya atau miskin. Lewat musik, kita membuka kesempatan untuk bersama,” kata Eric yang tahun depan berhalangan hadir di Padang karena akan berkeliling dunia ke Jepang, India, Afrika, dan Amerika.
Kebersamaan itulah yang menurut kurator PIOMFest 2018 Edy Utama ingin diciptakan. Menurut Edy, melalui PIOMFest yang sudah berlangsung dua kali ini, hubungan di antara negara-negara di kawasan Samudra Hindia diharapkan bisa semakin dekat.
Sejalan dengan itu, kerja sama di bidang kebudayaan dan pariwisata bisa terjalin lebih kuat. ”PIOMFest tidak hanya menghibur dan membuka kesempatan untuk berbagi, tetapi juga merekat kita dalam konteks silaturahim,” kata Edy.
Wali Kota Padang Mahyeldi mengatakan, selain merayakan ulang tahun ke-349 Kota Padang yang jatuh pada 7 Agustus 2018, PIOMFest diharapkan bisa melengkapi pengalaman berwisata ke Padang. Oleh karena itu, dia berjanji akan melaksanakan festival itu setiap tahun.
Warga pun menunggu karena musik menguatkan, bukan memecahkan. Laiknya pesan yang tersirat pada lagu ”Sebumi Rindu” yang dibawakan PentasSakral, perbedaan itu diciptakan oleh Tuhan, jangan sampai terpecah belah hanya karena berbeda agama atau warna kulit.