Pemerintah Diminta Selesaikan Sengkarut Pajak Penulis Buku
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Opsi sistem Norma Penghitungan Penghasilan Netto yang ditawarkan pemerintah kepada penulis sebagai solusi sengkarut pajak royalti penulis dinilai kurang tepat. Kalangan penulis tetap meminta pemerintah menurunkan pajak royalti menjadi 0,5 persen, atau sama dengan besaran pajak bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.
“Opsi NPPN (Norma Penghitungan Penghasilan Netto) itu sangat ruwet. Opsi itu memberatkan penulis karena bukan hanya persentasenya lebih besar dibandingkan pajak bagi pelaku UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), tetapi juga harus diajukan penulis tiga bulan sebelum tahun pajak,” kata Ketua Umum Asosiasi Persatuan Penulis Indonesia (Satu Pena) Nasir Tamara, Senin (13/8/2018).
Berdasarkan panduan Pajak Seniman yang diedarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, penulis yang menerima royalti kurang dari Rp 4,8 miliar dapat memilih menghitung penghasilan netonya menggunakan NPPN untuk Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Nomor 90002 (Pekerja Seni) yang besarnya 50 persen.
“Opsi itu harusnya disosialisasikan lebih gencar. Banyak kawan penulis yang belum tahu cara mengurus NPPN,” kata penulis Andina Dwifatma. Menurut dia, ketidaktahuan itu membuat banyak penulis pasrah mengetahui royaltinya yang tak seberapa berkurang lagi karena dipotong pajak setiap 6 bulan sekali.
Banyak penulis pasrah mengetahui royaltinya yang tak seberapa berkurang lagi karena dipotong pajak setiap 6 bulan sekali.
“Penulis itu ada dua jenis, yang menulis untuk mencari nafkah dan yang menulis untuk mencari eksistensi,” kata Andina. Jenis penulis pertama merupakan golongan paling terdampak kebijakan pajak royalti itu. Adapun jenis penulis kedua kerap kali justru abai terhadap urusan pajak itu karena memiliki sumber pendapatan lain.
Senada dengan Andina, penulis buku-buku sejarah Hendri Isnaeni juga mengeluhkan pajak royalti penulis yang dinilainya memberatkan. Jumlah pajak royalti yang harus dibayarkan penulis 24 kali lebih besar daripada pelaku UMKM dan dua kali lebih besar dibanding pekerja profesi bebas.
Nasir mengatakan, banyak penulis bergantung kepada royalti penjualan buku yang besarnya berkisar 10 persen hingga 15 persen dari hasil total penjualan buku. Dari penghasilan itu mereka menyambung hidup dan membiayai penelitian untuk karya berikutnya.
Pemerintah perlu segera menangani sengkarut pajak penulis supaya tidak menambah parah kualitas literasi Indonesia
“Pemerintah perlu segera menangani sengkarut pajak penulis supaya tidak menambah parah kualitas literasi Indonesia,” ujarnya.
Berdasarkan peringkat literasi dunia yang dirilis Central Connecticut State University pada 2016, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia berada di bawah Singapura (36), Malaysia (53), dan Thailand (59). Indonesia hanya berada di peringkat yang lebih baik daripada Botswana (61).
“Jika pajak royalti terlalu besar, penulis yang sedang memulai karir jadi enggan meneruskannya,” ucap Manajer Eksekutif Penerbit Buku Kompas (PBK) Patricius Cahanar. Jika imbalan yang didapat penulis terlalu kecil, maka mereka tidak dapat melanjutkan penelitian untuk karya berikutnya.
Jika pajak royalti terlalu besar, penulis yang sedang memulai karir jadi enggan meneruskannya
“Hidup mereka selama menulis karya baru kan bergantung pada royalti karya sebelumnya yang sudah dipublikasi,” tambah Patricius.
Dia merasa pajak royalti penulis yang besarannya disamakan dengan pajak penghasilan pasif tidak tepat. Bagi banyak penulis, royalti bukanlah penghasilan tambahan, melainkan sumber penghasilan utama.
Penulis lainnya, Rizal Badudu mengatakan sangat setuju dengan usulan agar pajak royalti penulis buku disamakan dengan pajak UMKM.
"Dari segi kontribusi terhadap masyarakat, penulis memiliki peran yang strategis dalam memberikan pendidikan secara informal. Oleh karena itu pemerintah yang terus berusaha meningkatkan kualitas dunia pendidikan, perlu mendukung para penulis untuk lebih banyak menghasilkan karya yang bermutu. Salah satu cara adalah dengan memberi keringanan pajak," kata Rizal Badudu.
Pemerintah yang terus berusaha meningkatkan kualitas dunia pendidikan, perlu mendukung para penulis untuk lebih banyak menghasilkan karya yang bermutu. Salah satu cara adalah dengan memberi keringanan pajak
"Kalaupun mau mengenakan persentase pajak yang relatif besar, lebih baik dilakukan secara progresif, yaitu pajak lebih kecil untuk penghasilan lebih kecil, dan pajak yang lebih besar seiring dengan jumlah penghasilan dari penjualan buku yang lebih banyak. Hal tersebut bisa diperhitungkan secara tahunan," kata Rizal Badudu, yang juga putra (alm) JS Badudu.(PANDU WIYOGA)