JAKARTA, KOMPAS — Di tengah menguatnya proteksi perdagangan dan pelemahan nilai tukar rupiah, pemangku kepentingan terkait perlu meilindungi dan memperjuangkan kepentingan nasional. Salah satunya dengan mempertahankan dan membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kepentingan nasional.
Selama beberapa pekan terakhir, Kompas mencatat ada tiga faktor eksternal yang terkait erat atau berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan nasional. Pertama adalah kemenangan Amerika Serikat atas gugatan produk hortikultura, hewan, dan produk hewan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Hal itu turut mengubah sejumlah kebijakan Indonesia, mulai dari peraturan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, hingga undang-undang. Kedua, tergerusnya devisa negara untuk menstabilkan rupiah, membiayai impor, serta membayar deviden dan bunga utang luar negeri.
Ketiga, impor minyak dan gas bumi (migas), bahan baku penolong, barang modal, serta barang konsumsi yang tumbuh tinggi. Impor tersebut menyebabkan defisit transaksi berjalan sebesar 8 miliar dollar AS atau 3 persen dari produk domestik bruto.
Ekonom dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, kepada Kompas, Minggu (12/8/2018), mengatakan, retaliasi itu merupakan gimik AS di bawah kepemimpinan Donald Trump. Trump ingin mendapatkan perhatian dari konstituen dari kalangan petani dan peternak.
Di sisi lain, selama ini Trump lebih memilih jalan bilatetal ketimbang regional dan multilateral. Untuk itu, negosiasi yang kuat sangat diperlukan Indonesia menghadapi AS dengan cara melibatkan kementerian dan pelaku usaha terkait.
”Negosiasi penting dan masih banyak waktu untuk melakukannya. Jangan sampai Indonesia mengubah semua regulasi sehingga kepentingan dalam negeri justru terkorbankan,” katanya.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa kepada Kompas, Minggu (12/8/2018), mengatakan, strategi pembatasan impor untuk melindungi petani dan agenda kedaulatan pangan sebenarnya tidak berjalan selama tiga tahun terakhir ini. Impor tujuh komoditas pangan utama justru meningkat dari 21,7 juta ton pada 2014 menjadi 25,2 juta ton pada 2017.
Tampaknya ada yang salah dengan strategi dasar membangun kedaulatan pangan. Pemerintah terlalu fokus pada peningkatan produksi, bukan ke kesejahteraan petani. Di hilir pemerintah berupaya menekan harga untuk menahan atau menurunkan inflasi pangan, sedangkan di hulu harga acuan pembelian gabah tetap.
”Dalam konteks retaliasi AS, negosiasi tetap perlu terus dilakukan untuk membela kepentingan Indonesia dan kedaulatan pangan Indonesia. Indonesia sangat kurang diplomat-diplomat pangan yang betul-betul memahami isu pangan, baik dari sisi teknis maupun regulasi, sehingga sering kali Indonesia kalah dalam negosiasi di tingkat internasional,” katanya.
Dwi menambahkan, perlu kecerdikan dan penguasaan isu ketika menyusun peraturan yang menguntungkan Indonesia sekaligus mengeliminasi kemungkinan tuntutan dari negara lain. Misalnya, perlindungan petani dapat diupayakan melalui kebijakan tarif.
Saat ini, sebagian besar tarif impor berkisar hanya di angka 0-5 persen. Hal ini menyebabkan pangan impor yang sebagian besar berkategori low artificial price menghancurkan harga produk pertanian yang dihasilkan petani.
”Bersamaan dengan itu, perlindungan harga di tingkat usaha tani secara bersamaan perlu dilakukan,” ujarnya.
Impor dan devisa
Di tengah peningkatan impor migas, bahan baku penolong, barang modal, dan barang konsumsi, pemerintah juga perlu memperkuat kebijakan di dalam negeri. Defisit transaksi berjalan semakin dalam, dari 5,7 miliar dollar AS pada triwulan I-2018 menjadi 8 miliar dollar AS pada triwulan II-2018.
Defisit neraca minyak dan gas bumi (migas) pada triwulan II-2018 cukup tinggi, yaitu 2,7 miliar dollar AS. Adapun neraca nonmigas masih surplus 3 miliar dollar AS kendati ada kenaikan bahan baku dan barang modal masing-masing sebesar 12,4 persen dan 6,5 persen.
Untuk memperbaiki kinerja impor migas, pekan lalu Bank Indonesia (BI) menyarankan agar kilang-kilang untuk memproduksi minyak mentah ditingkatkan. Mandatori B20 atau penggunaan 20 persen biodiesel sebagai campuran solar juga perlu direalisasikan.
Sementara dari sisi pendapatan, Indonesia perlu memperbaiki kebijakan devisa hasil ekspor (DHE). Selama ini, pendapatan hasil ekspor banayak yang tidak masuk ke Indonesia dan tidak menambah cadangan devisa. Oleh karena itu, perlu suatu sistem yang bisa memasukkan pendapatan ekspor tersebut dan menjadi cadangan devisa.
Kepala Departemen Riset Industri dan Regional Kantor Ekonom Bank Mandiri Dendi Ramdani mengemukakan, salah satu caranya adalah mewajibkan eksportir memasukkan pendapatan hasil ekspor ke dalam rekening khusus di BI dan ditukar dengan suatu kurs tertentu. Nanti jika memerlukan lagi, eksportir bisa meminta ke BI dengan kurs yang sama seperti saat disetorkan.
”Melalui sistem ini, suplai devisa (dollar atau mata uang asing lainnya) menjadi bertambah di perekonomian domestik. BI juga akan memiliki cadangan devisa yang lebih besar untuk menjaga stabilitas rupiah karena devisa itu ada di bawah pengelolaan BI,” katanya.