JAKARTA, KOMPAS — Menyambut ulang tahun ke-57, Pramuka semakin gencar mempromosikan diri sebagai kegiatan pendidikan nonformal yang mencakup semua elemen positif tumbuh dan kembang anak. Pramuka di era disrupsi tetap relevan dan berkontribusi mencerdaskan generasi muda Indonesia melalui pendidikan karakter dan literasi digital.
”Pada dasarnya, seluruh nilai kepramukaan tidak lekang dimakan zaman. Sebab, ini merupakan nilai-nilai mendasar karakter bangsa Indonesia, yaitu cinta Tanah Air, cinta alam, cinta sesama manusia, spiritualitas, dan semangat pembangunan bangsa,” kata Sekretaris Jenderal Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka Abdul Shobur ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (11/8/2018).
Pada dasarnya, seluruh nilai kepramukaan tidak lekang dimakan zaman. Sebab, ini merupakan nilai-nilai mendasar karakter bangsa Indonesia.
Hal tersebut ditegaskan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Jadi, Gerakan Pramuka berdiri pada 14 Agustus 1961. Sebelumnya di Tanah Air sudah ada beberapa jenis gerakan kepanduan, seperti Hizbul Wathan milik Muhammadiyah, Javaansche Padvinders Organisatie, Syarikat Islam Afdeling Pandu, dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie.
Gerakan kepanduan memegang peranan penting dalam perkembangan nasionalisme bangsa. Setelah mengalami berbagai perubahan bentuk organisasi dan kepemimpinan, Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 menyatakan tentang lahirnya Gerakan Pramuka yang berlandaskan Pancasila. Acara pelantikan Kwarnas dilakukan di Istana Negara pada 14 Agustus 1961.
Saat ini, posisi Pramuka di dalam skema pendidikan nasional diperjelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 63 Tahun 2014 yang menyatakan Pramuka menjadi ekstrakurikuler wajib untuk tingkat SD dan SMP.
Menurut Shobur, menjadikan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib tidak menyurutkan semangat siswa menikmati kegiatan kepramukaan.
Ia mengakui, secara alamiah ada siswa yang berminat tinggi jadi anggota Pramuka dan ada pula yang biasa-biasa saja. Hal tersebut bukan masalah bagi Gerakan Pramuka karena yang terpenting ialah pesan dari pembelajaran bisa sampai secara jelas kepada siswa.
”Apabila dilihat dari jumlah anggota aktif, Pramuka memiliki jumlah terbanyak jika dibandingkan dengan organisasi kepanduan lain di dunia. Pramuka memiliki total anggota aktif sebanyak 44 juta orang dari usia Pramuka Siaga (7-10 tahun) hingga pembina,” kata Abdul.
Relevan
Abdul menjelaskan, inti kegiatan Pramuka tetap pada kegiatan mencintai alam. Oleh sebab itu, keterampilan bertahan hidup di alam bebas, pertolongan pertama pada kecelakaan, baris-berbaris, dan sandi tetap menjadi pembelajaran utama. ”Semua gerakan kepanduan global berlandaskan kecintaan generasi muda kepada alam sehingga melalui pelestarian alam mereka mempraktikkan cinta Tanah Air,” ucapnya.
Ia menilai, kepesatan perkembangan teknologi memberi dampak positif bagi Gerakan Pramuka. Segala kegiatan di alam kini memanfaatkan penggunaan gawai, seperti kompas pada telepon pintar, termometer digital, dan internet, untuk mencari berbagai informasi.
Meski demikian, anggota Pramuka tetap harus bisa melakukan setiap kegiatan secara manual dan analog. ”Justru siswa-siswa sangat menyukai kegiatan fisik, terutama anggota yang berasal dari wilayah perkotaan,” ungkap Abdul.
Kehidupan yang terkungkung oleh kesibukan urban serta terikat pada gawai elektronik membuat siswa mencari kegiatan yang menantang secara fisik, mental, dan intelektual.
Menurut dia, gugus depan yang terletak di sekolah-sekolah bertanggung jawab membumikan kegiatan Pramuka agar bisa dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar. Dengan begitu, siswa juga belajar bersosialisasi pada tataran lebih luas dari sekolah. Hal ini yang membuat Pramuka akan selalu langgeng terlepas tahun dan zaman tempat ia berada. ”Kegiatan nasional berlangsung setiap lima tahun sekali. Pada level komunitas, Pramuka terus aktif,” ujar Abdul.
Mencintai sejarah
Wakil Ketua Bidang Kebudayaan dan Pengembangan Kearifan Lokal Kwartir Daerah Pramuka Yogyakarta Suwarsih mengungkapkan, kegiatan di wilayah itu selain materi kepanduan klasik juga banyak mengunjungi museum. Tujuannya ialah memperkenalkan sejarah bangsa secara interaktif dan menyenangkan kepada siswa
”Selain ke keraton, museum, dan candi, anggota Pramuka juga diajak mengunjungi berbagai sanggar seni dan pusat-pusat kerajinan di Yogyakarta,” ucap Suwarsih. Mereka juga mengikuti lomba menembang Jawa, menulis aksara Jawa, membuat puisi, fotografi, dan pakaian adat. Semua disisipi pembelajaran cinta Tanah Air dalam berbagai wujud penghargaan terhadap bangsa.
Pembina Pramuka di SMAN 3 Medan, Sumatera Utara, Muhammad Nasir, mencermati perubahan positif pada siswa setelah mengikuti kegiatan Pramuka. Awalnya, mereka cenderung bersifat individualistis. Setelah mengikuti kegiatan Pramuka, mereka menjadi pandai bekerja sama dan mandiri. (NIKSON SINAGA/HARIS FIRDAUS/SAMUEL OKTORA)