Santapan dan Kemerdekaan
Konon, kita harus berterima kasih kepada Ibu Negara masa Orde Baru, Siti Hartinah Soeharto alias Bu Tien. Ibu Tien mengadopsi dengan elegan kultur santapan kejawaan sebagai simbol politik yang kuat.
Sejak Orde Baru, perayaan hari kemerdekaan mengalami perubahan. Selain pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Soeharto di hadapan anggota DPR alih-alih di hadapan rakyat seperti era Sukarno, potong tumpeng menggantikan kebiasaan potong kue tart besar dan tinggi (Abdul Gafur dalam Siti Hartinah Soeharto, Ibu Utama Indonesia, 1993). Nasi tumpeng menggantikan kue kemerdekaan sejak 1972.
Sebagai perempuan Jawa, Ibu Tien merasa Indonesia juga harus merdeka dalam soal pangan, dan pilihannya, nasi misalnya. Apalagi nasi tumpeng dengan segala uba rampe atau lauk pauknya telah menjadi penyampai doa keselamatan dalam ritual-ritual di Jawa.
Tumpeng yang semula menjadi santapan kultural di Jawa, naik posisi menjadi santapan nasional, menjadi salah satu simbol kemerdekaan. Karena urusan penguasa dari masa ke masa ternyata adalah urusan yang tak jauh dari perut: kebutuhan pangan rakyat yang tidak bisa dipenuhi segera bisa menimbulkan gejolak pemberontakan yang berakhir pada pelengseran.
Tumpeng yang semula menjadi santapan kultural di Jawa, naik posisi menjadi santapan nasional, menjadi salah satu simbol kemerdekaan.
Tumpeng di istana pun kemudian menjadi simbol jaminan negara pada soal kemerdekaan dan pemenuhan pangan rakyat. Satu hal penting juga dalam menciptakan stabilitas kekuasaan.
Maka kemerdekaan tidak lagi cukup hanya dengan mengibarkan bendera, upacara baris-berbaris, atau bergotong royong menghias kampung yang terus berlangsung meski Orde Baru telah runtuh. Tidak mungkin sah perayaan kemerdekaan saat tidak ada peristiwa kolosal paling manusiawi: makan.
Sejak pagi sebelum malam tirakatan 17 Agustusan, para ibu berkumpul di dapur memasak bersama. Para ibu kembali ke bentuk hajatan yang agraris: memasak bersama di dapur besar dadakan. Porsi menu makanan yang dirembuk bersama harus mencukupi perut seluruh warga. Makanan yang disajikan di tempat atau dalam bentuk kardusan untuk dibawa pulang menjadi simbol baru dari perayaan kemerdekaan.
Kemerdekaan makan Sukarno
Terkadang begitu melimpahnya makanan di momentum kemerdekaan, seperti memperlihatkan upaya untuk menebus atau membalas “kepahitan” masa lalu, di mana kelaparan dan kemelaratan kejam terjadi di masa pendudukan Jepang 1942-1945. Dari mulut para tua, kita selalu diingatkan betapa kematian begitu dekat karena krisis pangan untuk sekadar menyambung hidup nanti sore.
Di majalah anak Si Kuncung Nomor 14 (Th. XXV, 1981), misalnya, anak-anak sempat dikenalkan pada pertalian antara makanan dan kemerdekaan dalam tulisan Lauk Pauk Jaman Kemerdekaan. Penderitaan dalam soal makanan menjadi narasi penting saat bangsa ini memperjuangkan kemerdekaan. Upeti padi kepada Jepang terlalu tinggi dan, “di masa-masa itulah, di daerah-daerah yang benar-benar minus, tidak sedikit rakyat yang terpaksa makan bonggol-pisang (umbi batang pisang).”
Sayur bonggol pisang tidak membangkitkan selera makan meski secara visual mungkin mirip sayur gudeg yang populer saat ini. Orang-orang masa itu juga harus menyantap bekicot, binatang yang dianggap kotor, sebagai pengganti daging yang sangat langka. Masa kemerdekaan adalah masa di mana melawan penjajah tidak selalu lebih sulit ketimbang juga melawan penyakit karena kekurangan gizi, seperti beri-beri.
Sukarno menyimpan biografi kemerdekakan dirinya juga lewat santapan. “Setelah dipilih untuk memegang djabatan jang tertinggi di seluruh tanah-air, maka Presiden jang baru berdjalan pulang. Di djalanan ia bertemu dengan tukang sate. Lalu Paduka Jang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil pendjadja jang kaki-ajam dan tidak berbadju itu dan mengeluarkan perintah Presidennya jang pertama, “sate ajam limapuluh tusuk.” Aku pun djongkok di sana dekat selokan dan kotoran. Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai Kepala Negara” (Cindy Adams, 1966).
Sukarno menyimpan biografi kemerdekakan dirinya juga lewat santapan.
Ayam yang menjadi santapan di pelbagai hajatan di Jawa, membawa kesan mewah pada masa-masa kemerdekaan. Sukarno memberikan pesta kemewahan makan bagi dirinya sendiri sebelum melaksanakan tugas berat memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia, dengan sate ayam. Merdeka itu makan!
Makan dalam atmosfer perayaan kemerdekaan di kampung juga sangat dirasakan oleh budayawan Mudji Sutrisno (2011) di masa kecil. Sekitar tahun 1960-an televisi masih berkesan langka dan mewah. Radio menjadi pemancar berita. Setiap tanggal 17 Agustus, di halaman rumah Romo Mudji digelar tikar lengkap dengan makanan ringan alias nyamikan dan minuman jahe atau teh.
Ayah, paman, dan teman-teman rohaniwan cum seniman itu berkumpul sambil mendengarkan radio yang mendengarkan pidato-pidato Sukarno, lalu diselingi diskusi-diskusi politik. Santapan tidak berkesan rumit, mewah, atau besar, tapi sederhana, nyaman dan mampu melengkapi ingatan kolektif kemerdekaan. Wedang jahe atau teh menjadi pelengkap yang membuat kemerdekaan terasa akrab, menghangatkan, dan kerakyatan.
Merdeka ala Amerika
Suasana dan simbol makan dalam perayaan kemerdekaan masa kini memang sudah tidak sama lagi. Dengan hanya, misalnya, berkumpul di kampung, rumah, sekolah, bahkan Istana Negara. Kita bisa menjalaninya di ruang-ruang baru, yang modern, di restoran misalnya. Katakanlah di restoran cepat saji ala Amerika yang menawarkan menu berjargon “Ini Rasa Kita” sebagai bagian dari promo kemerdekaan (Kompas, 5 Agustus 2017).
“Rasa kita” yang dimaksud di atas adalah burger rasa rendang. Panganan yang aroma atau tambahan rasanya saja beridentitas Indonesia, tapi pangan pokoknya “berger”, Amerika. Semacam pencatutan aroma rempah yang khas lokal dan menjadi favorit nomor wahid dunia, untuk sekadar menjadi gimmick dari bisnis negara adi-kuasa, dan secara khusus menjadi bagian dari perayaan kemerdekaan negeri ini.
Lebih dari 70 tahun sudah usia republik ini, soal makan saja kita masih sulit untuk merdeka.
Semua itu seakan mengajak kita, Indonesia, melihat diri sendiri dalam etalase kultural Amerika. Kemerdekaan yang sebelumnya terepresentasi dalam “kedaulatan” di soal pangan, kini sudah diganti oleh (kedaulatan) pangan bangsa lain, burger. Tumpengan yang legendaris dan kaya variasi dalam kelengkapannya itu kini berganti pengananan yang sangat miskin budaya dalam teknologi kulinasi hingga variasi bahannya, sepasang roti tumpuk.
Dan kemerdekaan pangan itu pun terenggut hingga di ruang-ruang privat kita, di dalam rumah atau kamar tidur kita. Bukan lagi klepon, gethuk, kecapi, atau rambutan, namun coklat Swiss, apel Washington, pepaya Thailand, kebab Turki, apel Fuji, jeruk Mandarin, mie instan Korea, susu Australia, dan sebagainya.
Bahkan dalam bahasa, kemerdekaan sudah direnggut, ketika penamaan-penamaan panganan pun mesti diletakkan dalam jajaran kosakata asing. Jajaran kata-kata makanan yang tidak harus berganti kewarganegaraan untuk bisa diterima di halaman kedaulatan negara kita. Lebih dari 70 tahun sudah usia republik ini, soal makan saja kita masih sulit untuk merdeka.
SETYANINGSIH, Esais, Penulis buku Bermula Buku, Berakhir Telepon (2017)