Festival Meriam Karbit dan Ingatan Masa Lalu
Kota Pontianak, Kalimantan Barat, memiliki tradisi unik saat malam Takbiran, yakni Festival Meriam Karbit. Festival yang digelar di tepian Sungai Kapuas itu tidak hanya sekadar memeriahkan malam Takbiran, tetapi juga menyimpan ingatan masa lalu.
Para pemuda berpakaian adat Melayu berjalan berlahan menuju deretan meriam di tepi Sungai Kapuas. Mereka hendak menyalakan meriam karbit di lokasi Festival Meriam Karbit. Sementara pengunjung yang berada di lokasi itu ada yang berusaha sedikit menjauh dan ada pula tetap berada dekat dengan meriam sembari bersiap menutup telinga.
Beberapa saat kemudian, dentuman meriam karbit pun bergema di sepanjang Sungai Kapuas Kota Pontianak pada Kamis (14/6/2018) malam. Festival Meriam Karbit pun dimulai. Pengunjung di sekitar meriam karbit bisa merasakan getaran ledakan meriam karbit itu.
Meriam karbit sebanyak 295 buah itu terbuat dari kayu. Jumlahnya tahun ini lebih banyak bula dibandingkan tahun lalu yang hanya 181 buah. Panjang meriam karbit 8 meter dan berdiameter sekitar 1 meter serta diberi cat warna warni untuk memberikan sentuhan meriah di sepanjang Sungai Kapuas, Kota Pontianak.
Meriam karbit tersebut dinyalakan secara bergantian oleh 49 kelompok sekitar pukul 19.30 dari berbagai lokasi di sepanjang Sungai Kapuas. Di satu lokasi terdapat lima meriam karbit. Dengan atraksi meriam karbit itu setiap kelompok saling balas. Saat satu kelompok menyulut meriam karbit, kelompok lainnya juga langsung membalas dengan menyulut meriam karbit pula. Satu peserta dengan peserta lainnya seolah saling serang di medan pertempuran.
Namun, jangan khawatir meriam karbit itu tidak memiliki peluru, melainkan hanya mengeluarkan dentuman. Suaranya bahkan, tidak hanya terdengar di sepanjang Sungai Kapuas, tetapi hingga ke berbagai penjuru Kota Pontianak malam itu.
Lokasi festival dipadati warga yang hendak menyaksikan perayaan setahun sekali tersebut. Bahkan, ada yang sudah datang sejak sore di lokasi cara agar dapat mencari posisi yang bagus untuk menyaksikannya. Tahun ini lokasi festival dilaksanakan di Pontianak Timur tepatnya di Jalan Yusuf Karim, Kelurahan Banjar Serasan.
“Setiap tahun saya sekeluarga selalu pergi ke lokasi acara untuk menyaksikan Festival Meriam Karbit. Dengan acara ini, malam Takbiran menjadi lebih meriah. Selain itu, saya bisa memperkenalkan kebudayaan kepada anak-anak,” ujar Ahmad (40) salah satu warga Kota Pontianak.
Demikian juga dengan Zuniarti (35), warga Kota Pontianak lainnya. Zuniarti juga setiap malam Takbiran selalu melihat Festival Meriam Karbit. Dengan hadir di acara ini juga sekaligus bersilaturahim dengan kerabat. Sebab, di cara itu berjumpa dengan banyak kerabat.
Ketua Forum Komunikasi Tradisi Meriam Karbit Seni dan Budaya Kota Pontianak Fajriudin Anshary, mengatakan, Festival Meriam Karbit yang menjadi agenda tahunan sebagai upaya untuk mempertahankan budaya dan tradisi. Pemuda sebagai ujung tombak pengembangan dan memelihara nilai-nilai kebudayaan.
“Salah satu nilai kebudayaan yang diwariskan oleh para pendahulu adalah permainan meriam karbit. Maka, kebudayaan ini selalu kami lestarikan dengan menggelar Festival Meriam Karbit setiap tahun,” ujarnya.
Fajriudin mengatakan, nilai kebudayaan ini adalah peninggalan raja Kesultanan Pontianak. Oleh karenanya, nilai ini harus selalu dikembangkan serta dipelihara. “Sudah menjadi tugas pemuda untuk memeliharanya,” kata Fajriudin.
Sesuai imbauan wali kota Pontianak serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalbar, perlunya pelestarian tradisi meriam karbit pada malam Idul Fitri. Adapun maksud permainan meriam karbit ini adalah mengenal ciri khas budaya Kota Pontianak khususnya di tepian Sungai Kapuas dalam menyambut dan memeriahkan Idul Fitri.
Ingatan sejarah
Sejarawan dan Budayawan Kota Pontianak Syafaruddin Usman, mengatakan, Festival Meriam Karbit ini untuk mengenang kisah masa lampau baik dari aspek legenda maupun sejarah. Dari aspek legenda diceritakan, dahulu Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, sultan pertama Keraton Pontianak ingin mendirikan pusat pemerintahan di Pontianak. Lokasinya di daerah Beting, Pontianak Timur.
Namun, lokasi itu banyak hantu kuntilanak. Untuk dapat mendirikan pusat pemerintahan di daerah itu harus mengusir kuntilanak terlebih dulu. Maka, untuk membunuh hantu kuntilanak itu, ia dan pengikutnya menembakkan meriam.
“Hantu kuntilanak itu pun pergi dari daerah Beting saat meriam ditembakan. Maka, dibukalah pusat pemerintahan keraton di daerah Beting. Pada saat itu pula berdirilah pusat pemerintahan Kota Pontianak. Pada Festival Meriam Karbit itu pula mengingatkan pada situasi tersebut. Suasana saat Festival Meriam Karbit dibuat mirip situasi pada masa itu,” papar Syafaruddin.
Kemudian, jika ditinjau dari aspek sejarah, sekitar abad-18 pertengahan saat Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, sultan pertama Keraton Pontianak hendak mencari daerah hunian baru sebagai pusat pemerintahan, ia menemukan daerah strategis, yakni di daerah Beting tersebut. Daerah itu merupakan delta pertemuan antara anak Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Kawasan itu merupakan daerah strategis sebagai urat nadi perdagangan dari kerajaan lokal di Kalbar, antara lain kerajaan di Landak, Tayan, dan Sukadana. Namun, di perairan itu dilokalisir oleh bajak laut. Maka, bajak laut itu harus dihalau. Untuk menghalau bajak laut itulah maka ditembakan meriam ke arah bajak laut itu.
Setelah bajak laut takluk, barulah Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie mendirikan kerajaan di daerah tersebut. Kerajaan itulah yang menjadi pusat pemerintahan Kota Pontianak pertama kala itu.
Dalam perkembangannya, kata Syafaruddin, permainan meriam tetap dilestarikan untuk mengenang itu. Namun, kini bukan meriam sungguhan, melainkan meriam karbit tidak memiliki peluru. Momen yang dianggap tepat bermain meriam karbit masa kini adalah saat bulan Puasa dan Lebaran.
Dahulu meriam ditembakan saat membangunkan orang sahur dan pada saat mengingatkan orang waktunya berbuka puasa. Selain itu, pada masa Lebaran ditembakan pada malam Takbiran sebagai ungkapan suka cita menyambut Lebaran.