Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh Kumpulkan Pengakuan Korban
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh terus bekerja mengungkapkan kebenaran guna terciptanya rekonsiliasi konflik Aceh. Saat ini, proses pengumpulan pengakuan korban konflik sedang berjalan di enam kabupaten. Rekonsiliasi antara korban dan pelaku dianggap penting agar penyelesaian konflik memberikan keadilan bagi korban.
Dalam diskusi publik Peringatan 13 Tahun Perdamaian Aceh, Selasa (14/8/2018) di Banda Aceh, komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Evi Narti Zein, mengatakan, pengumpulan pengakuan korban dilakukan dengan cara wawancara langsung terhadap korban.
Para korban berada di enam kabupaten, yakni Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Lhokseumawe, Bener Meriah, dan Aceh Selatan. Saat ini sudah ada 250 pengakuan korban yang diperoleh KKR Aceh. Mereka merupakan korban langsung atau keluarga korban.
Evi mengatakan, tidak mudah mengajak korban untuk bicara. Mereka masih trauma dan khawatir terhadap keselamatan mereka ketika membuka siapa pelaku kekerasan. Akan tetapi, lanjutnya, pengakuan korban sangat diperlukan sebab menjadi instrumen pemenuhan hak keadilan bagi korban.
Tidak mudah mengajak korban untuk bicara. Mereka masih trauma dan khawatir terhadap keselamatan mereka ketika membuka siapa pelaku kekerasan.
Pengakuan korban akan ditelaah untuk mencari penyelesaian. Jika korban menuntut dipertemukan dengan pelaku, lembaga KKR akan memfasilitasi. Namun, apabila pelaku tidak ditemukan, negara harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM terhadap korban.
Akan tetapi, yang penting dalam proses rekonsiliasi adalah menghadirkan reparasi bagi korban, baik secara psikis maupun fisik. ”Pada November 2018 kami akan menggelar kesaksian korban,” ujar Evi.
KKR merupakan lembaga pemerintah daerah nonstruktural yang dibentuk melalui qanun/perda Aceh. KKR bertugas mengungkapkan kebenaran, memfasilitasi rekonsiliasi, dan merekomendasikan reparasi korban konflik Aceh.
Perwakilan Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri, menyerahkan empat bundel dokumen pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh sejak tahun 1980-an hingga 2015 kepada KKR. Dalam dokumen itu, termuat daftar kekerasan yang terjadi pada masa konflik, seperti tragedi Rumoh Gedong, Pidie, Jambo Keupok Aceh Selatan, dan Beutong Ateuh, Nagan Raya.
Puri menyebutkan, dokumen 1.000 lembar itu memuat 300 nama korban kekerasan masa konflik. Ia berharap, data itu akan membantu KKR Aceh mengungkap kebenaran dan menghadirkan keadilan bagi korban.
”Aceh satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki instrumen penyelesaian pelanggaran HAM. Semoga dengan adanya penyelesaian kekerasan tidak terulang,” ucap Puri.
Ketua Komunitas Pelanggaran HAM Aceh Utara Murtala mengatakan, yang dibutuhkan korban adalah pemulihan trauma dan fisik. Ia menambahkan, 13 tahun perdamaian, korban belum mendapatkan keadilan. ”Abang saya hilang saat konflik, sampai sekarang tidak tahu di mana,” ujarnya.
Murtala menambahkan, kehidupan korban konflik juga masih memprihatinkan. Banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara dana otonomi khusus yang lahir dari konsekuensi perdamaian tidak dirasakan oleh korban.
Kehidupan korban konflik juga masih memprihatinkan. Banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara dana otonomi khusus yang lahir dari konsekuensi perdamaian tidak dirasakan oleh korban.
”Pengungkapan kebenaran untuk menyembuhkan luka pada korban. Yang paling penting, menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama,” kata Murtala.
Ia berharap, pemerintah membuat monumen peringatan di lokasi terjadinya tragedi memilukan saat konflik. Monumen itu menjadi bukti sejarah bahwa di sana pernah terjadi tragedi kemanusiaan yang harus selalu dikenang.