Pemerintah telah berkomitmen memperluas penggunaan minyak sawit sebesar 20 persen dalam campuran bahan bakar minyak. Setidaknya untuk mengurangi ketergantungan impor. Sebab, impor minyak dalam jumlah besar berpotensi menekan nilai mata uang rupiah.
Ketergantungan impor minyak dan gas (migas) yang tinggi selama ini karena produksi cenderung turun. Di sisi lain, konsumsi terus bertambah. Penurunan produksi dapat dilihat dari kinerja pengelolaan wilayah kerja (WK) migas.
Salah satunya, lapangan WK migas Vico Indonesia, sebagai perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tertua di Indonesia atau telah beroperasi selama 50 tahun di Sanga-Sanga, Muara Badak, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Saat produksi turun, pengelolaan WK migas Sanga-Sanga dialihkan ke PT Pertamina (Persero) per 7 Agustus 2018. Vico Indonesia, yang pada masa awal menjalin kerja sama dengan pemerintah pada 7 Agustus 1968 bernama Huffco, pernah mencatat kejayaan produksi gas tahun 1990-2000.
Akan tetapi, sejak 2000 tren produksi turun. Produksi gas di WK Sanga-Sanga saat ini 70 sampai 80 million metric standard cubic feet per day dan produksi minyak sekitar 9.000 barrel oil per day. Jika tidak dipertahankan dan dijaga, produksi tentu akan terus merosot sampai akhir tahun.
Dengan mengambil alih WK migas Sanga-Sanga, Pertamina melalui anak usaha PT Pertamina Hulu Indonesia dituntut mempertahankan produksi agar tidak turun lebih tajam. Pertamina juga diharapkan bisa mengeksplorasi untuk menemukan sumur-sumur baru, terutama minyak.
Akan tetapi, eksplorasi dan produksi WK migas bukan pekerjaan mudah. Butuh investasi besar, komitmen, dan kerja keras para pemangku kepentingan. PT Pertamina memang telah mengalokasikan anggaran untuk komitmen kerja pasti (KKP) sebesar 237 juta dollar AS dalam tiga tahun. KKP merupakan komitmen perusahaan KKKS yang telah mendapat kontrak WK migas untuk eksplorasi dan eksploitasi.
Tak hanya WK Sanga-Sanga, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah menyelesaikan perhitungan dan keputusan terkait pengelolaan WK migas yang berakhir dari 2018 sampai 2021. Nilai KKP mencapai Rp 32,5 triliun atau 1,68 miliar dollar AS.
KKP memang bukan jaminan WK migas dapat dieksploitasi atau diproduksi. Masih banyak tantangan perlu dihadapi, seperti tingkat kesulitan dan potensi kandungan migas pada sumur yang mungkin bisa ditemukan, teknologi dan kemampuan finansial perusahaan, atau kemampuan menjalin kerja sama dengan operator lain.
Implementasi KKP juga sangat tergantung dari keseriusan manajemen perusahaan KKKS. Di sisi lain, pengawasan pemerintah, terutama SKK migas, sangat penting. Namun, setidaknya KKP dan pengalihan pengelolaan WK migas ke perusahaan KKKS yang baru, seperti Pertamina di WK Sanga-Sanga, menjadi tantangan bagi Pertamina untuk meningkatkan produksi. Harapannya, produksi meningkat sehingga impor bisa ditekan.