Menteri Jadi Caleg, Jangan Salahgunakan Fasilitas dan Kekuasaan!
Oleh
Satrio Wisanggeni/Pradipta Pandu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah menteri dicalonkan partainya untuk mengikuti pemilihan calon anggota legislatif DPR RI 2019. Figur menteri dinilai dapat memperluas ladang suara bagi para partai pengusungnya. Penyalahgunaan institusi dan fasilitas kementerian harus dihindari dalam kampanye.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mencalonkan seluruh kadernya yang berada di kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk maju dalam pemilihan caleg DPR RI. Tiga menteri kader PKB tersebut adalah Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi DKI Jakarta I, serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo.
Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding, Selasa (14/8/2018) siang, mengatakan, figur menteri memiliki daya tarik dan popularitas yang besar di masyarakat umum sehingga mereka dapat ditempatkan pada dapil yang bukan menjadi basis tradisional partai. Metode ini diharapkan dapat memperluas ladang suara partai dan meningkatkan jumlah kursi di parlemen.
”Mereka adalah kader partai. Sebagai kader, mereka kami minta untuk membantu partai untuk mengisi di beberapa dapil yang belum pernah dimenangkan PKB. Figur menteri itu lebih punya popularitas,” kata Karding di Jakarta. ”Faktanya, kami belum pernah dapat kursi dari dapil-dapil tersebut,” katanya.
Hanif Dhakiri akan bersaing di daerah pemilihan Jawa Barat VI yang mencakup Kota Depok dan Bekasi, Jawa Barat. Imam Nahrawi akan berada di daerah pemilihan DKI Jakarta I (Jakarta Timur). Sementara Eko Putro Sandjojo akan berhadapan dengan caleg-caleg di dapil Bengkulu.
Faktanya, kami belum pernah dapat kursi dari dapil-dapil tersebut.
Secara total, selain para menteri kader PKB, sebanyak enam nama menteri dalam Kabinet Indonesia Kerja tercatat dalam daftar caleg sementara (DCS) yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum. Dalam daftar itu, terdapat Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Puan dicalonkan oleh PDI-P di daerah pemilihan Jawa Tengah V (Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Kota Surakarta), sedangkan Yasonna di Sumatera Utara I (Kota Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Kota Tebing Tinggi).
Sementara itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dicalonkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di daerah pemilihan Jawa Barat VI (Kota Depok dan Kota Bekasi).
Penggunaan figur menteri sebagai alat pendulang suara partai memunculkan kekhawatiran adanya conflict of interest ataupun penelantaran tugas menteri. Karding mengungkapkan dirinya memahami bahaya tersebut.
Karding mengatakan, partainya telah mengingatkan agar menteri yang menjadi caleg tidak menelantarkan tugasnya. Pembagian tugas antara menteri dan caleg harus proporsional. ”Jangan sampai mereka mengapitalisasi kementeriannya untuk kepentingan caleg. Mereka harus ikut aturan,” kata Karding.
Jangan sampai mereka mengapitalisasi kementeriannya untuk kepentingan caleg. Mereka harus ikut aturan.
Hal yang sama juga disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, mengatakan, modal politik dan modal sosial para menteri ini sangat berbeda dengan caleg lainnya. Menteri memiliki keunggulan dari sisi popularitas, kemampuan finasial, dan pengumpulan masa yang sangat baik.
”Posisi menteri adalah sebagai penjaga dan pengaman suara partai. Ini alasan mengapa banyak menteri dicalonkan pada pileg karena partai perlu kepastian lolos dari ambang batas 4 persen di kursi parlemen (parliamentary threshold),” ujar Titi.
Meski demikian, Titi menilai bahwa menteri yang maju menjadi caleg sangat rentan melakukan pelanggaran dan penyimpangan. Hal ini karena para menteri memiliki kewenangan, fasilitas, dan akses pada anggaran.
Titi menilai bahwa menteri yang maju menjadi caleg sangat rentan melakukan pelanggaran dan penyimpangan. Hal ini karena para menteri memiliki kewenangan, fasilitas, dan akses pada anggaran.
Oleh karena itu, Titi menegaskan bahwa para menteri perlu mengundurkan diri dari jabatannya ketika maju menjadi caleg. Hal itu bertujuan untuk mencegah terjadinya penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan yang berpotensi muncul dalam mendulang suara.
Selain itu, pencalonan menteri menjadi caleg ini juga perlu diiringi dengan pengawasan agar potensi pelanggaran tidak terjadi.
”Menteri itu harus mundur karena jabatan menteri merupakan jabatan yang sangat luar biasa kontribusinya bagi tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik. Apalagi menteri pasti diberi pesan untuk memenangkan partai. Tidak heran politisasi birokrasi masih menjadi momok dan masalah pada penyelenggaraan pemilu kita,” tutur Titi.
Pasal 281 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menetapkan bahwa presiden, menteri, gubernur, dan kepala daerah beserta wakilnya tidak boleh menggunakan fasilitas jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan, dalam kampanyenya. Mereka pun harus menjalani cuti jika berkampanye pada hari kerja.