JAKARTA, KOMPAS - Sistem politik saat ini menjurus pada penguatan oligarki dalam partai politik. Nasib negara hanya ditentukan oleh segelintir elite parpol. Butuh terobosan untuk menata ulang sistem agar Indonesia jadi negara modern.
”Perlu ada tata ulang agar kita bisa keluar dari jebakan politik oligarkis,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Senin (13/8/ 2018), di Menara Kompas, Jakarta, saat hadir sebagai pembicara dalam Bincang Kebangsaan dan Peluncuran Buku Membaca Indonesia #MenyatukanKepingan karya Desk Polhuk Harian Kompas.
Juga hadir sebagai pembicara dalam acara itu Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Bambang Soesatyo, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Marsudi Syuhud, dan Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Eko Sulistyo.
Turut hadir sebagai peserta dalam acara ini, antara lain, Hakim Konstitusi Saldi Isra, anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Ida Budhiati, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Komisioner Kompolnas Poengky Indarti, serta Sekjen DPR Indra Iskandar.
Haedar menilai, bangsa Indonesia gagal mengelola disrupsi politik yang terjadi pasca- Reformasi 1998. Praktik demokrasi saat ini terlalu liberal di tengah masyarakat yang masih memiliki budaya patronase.
Terkait hal itu, Haedar menggarisbawahi pentingnya proses berpikir bangsa untuk menemukan kembali orientasinya. Ia menengarai, saat ini bangsa Indonesia bahkan tidak sadar apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir bangsa. Akibatnya, terjadi stagnasi. Nilai-nilai dasar para pendiri bangsa hilang. Sementara para elite politik bisa mengorbankan nalar dan kualitas demi politik kekuasaan. ”Pertanyaannya bukan apakah kita tetap akan ada 100 tahun setelah kemerdekaan, melainkan seperti apa keberadaan kita pada 2045 itu? Kita tidak boleh sekadar eksis, tetapi (saat itu harus) telah jadi bangsa modern,” katanya.
Salah satu penyebab makin kuatnya oligarki politik ini adalah ambang batas pencalonan presiden yang terlalu tinggi. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur, hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR yang bisa mengusung calon presiden-calon wakil presiden. Syarat itu makin menguatkan hegemoni parpol. Ambang batas pencalonan presiden tetap diperlukan, tetapi semestinya tidak terlalu tinggi hingga akan muncul capres-cawapres yang lebih banyak dan variatif. ”Oligarki politik juga bisa dicegah,” kata Haedar.
Agus Rahardjo mengatakan, sistem politik saat ini perlu ditata ulang karena berbiaya mahal dan kerap menghasilkan politisi berkompetensi kurang. Di sisi lain, birokrasi juga membengkak dan tumpang tindih.
Menurut Marsudi, para pendiri bangsa mendesain Indonesia menjadi negara yang seimbang. Keseimbangan ini terjadi antara negara agama dan negara sekuler, sosialis dan kapitalis. Bahkan, ketika Indonesia pro pasar, masyarakat kecil juga harus dihormati.
Namun, lanjut Marsudi, konsep itu kini belum sepenuhnya diwariskan ke generasi selanjutnya. ”Jangan salahkan anak-anak milenial jika sekarang ikut-ikutan mewacanakan ganti sistem. Ini karena mereka tidak dikenalkan Pancasila sejak awal,” ujarnya.
Solusi
Jalan keluar dari kondisi saat ini, kata Marsudi, mesti diawali dengan duduk bersama antara para pemangku kepentingan. ”Prinsip membangun sebuah bangsa adalah saling percaya, bisa dipercaya, dan bisa memercayai orang untuk membangun bangsa yang kuat,” ujar Marsudi.
Zulkifli Hasan mengatakan, langkah pertama adalah memperkuat persatuan. Dengan tercapainya persatuan, kedaulatan bisa dicapai. Selanjutnya keadilan sosial bisa berlaku.
Bambang Soesatyo menilai, politisasi agama telah mengganggu persatuan di masyarakat. Guna mengatasinya, dibutuhkan penguatan visi kebangsaan. Produk-produk hukum yang tidak sesuai dengan Pancasila harus dievaluasi.
Eko Sulistyo menambahkan, orientasi pembangunan pemerintah Joko Widodo adalah untuk mempersatukan. ”Misalnya dengan infrastruktur,” katanya.