JAKARTA, KOMPAS —Perlindungan masyarakat dari kosmetik ilegal melalui pengawasan dan edukasi perlu diintensifkan. Tanpa pengetahuan yang memadai, warga bisa membeli kosmetik ilegal yang mutu, manfaat, dan keamanannya tak terjamin.
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik Badan Pengawas Obat dan Makanan Mayagustina Andarini mengatakan, tahun ini BPOM menyita kosmetik ilegal atau mengandung bahan berbahaya senilai Rp 106,9 miliar. ”Itu menunjukkan besarnya permintaan kosmetik dan konsumen tak terlindungi dari produk ilegal,” ujarnya, Senin (13/8/2018) di Jakarta.
Jika melihat data peringatan publik dari BPOM dari tahun ke tahun, tergambar betapa berisikonya konsumen kosmetik. Pada tahun 2016, ada 68 jenis kosmetik dan tahun 2017 ada 30 jenis. Mayoritas kosmetik itu memakai bahan berbahaya, seperti merkuri, hidrokinon, pewarna yang dilarang (merah K3 dan merah k10), dan asam retinoat.
Merkuri banyak dipakai sebagai pemutih. Namun, zat itu bisa masuk ke tubuh hingga memicu masalah kesehatan seperti iritasi dan kanker. Penggunaan asam retinoat untuk mengelupaskan kulit rusak pun harus dengan resep dokter. Pengelupasan kulit bisa berlebihan sehingga kulit lebih sensitif, kemerahan, lebih gelap, dan tampak lebih tua.
Lebih ketat
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Noffendri, menyampaikan, dengan banyaknya temuan produk kosmetik ilegal distribusi kosmetik perlu diatur lebih ketat seperti produk farmasi lain. Notifikasi produk kosmetik dinilainya masih terlalu longgar dalam menjamin mutu, keamanan, dan manfaat produk kosmetik.
Padahal, seiring dengan perubahan gaya hidup permintaan masyarakat akan produk kosmetik tinggi. Tanpa adanya sistem jaminan mutu, keselamatan, dan manfaat produk yang ketat masyarakat tidak akan terlindungi dengan baik.
Mayagustina mengatakan, tingginya temuan produk kosmetik ilegal tidak bisa dikaitkan dengan notifikasi. Bukan karena notifikasi akhirnya banyak kosmetik ilegal ditemukan.
Sejak tahun 2011 negara-negara ASEAN memberlakukan sistem notifikasi untuk kosmetika, bukan lagi registrasi seperti produk farmasi. Harapannya, masyarakat memiliki akses yang cepat terhadap produk kosmetika terbaru dan industri kosmetika dalam negeri pun berkembang.
Proses registrasi produk yang lama akan membuat masyarakat membeli produk kosmetik yang terbaru di luar negeri atau impor. Ini justru akan menguntungkan negara lain. Padahal, dengan mempermudah proses registrasi industri kosmetik dalam negeri bisa bersaing.
Dengan demikian, dalam notifikasi industri tidak.harus menyerahkan dokumen (dossier) lengkap pendaftaran. Namun, industri tetap wajib mencantumkan bahan atau kandungan dari produk kosmetik.
"Kita asumsikan industri sudah paham apa saja yang boleh dan tidak boleh dalam produksi kosmetik. Industri juga harus mendeklarasikan diri untuk patuh sehingga kalau ada yang melanggar sanksinya berat," kata Mayagustina.
Kita asumsikan industri sudah paham apa saja yang boleh dan tidak boleh dalam produksi kosmetik. Industri juga harus mendeklarasikan diri untuk patuh sehingga kalau ada yang melanggar sanksinya berat.
Sejak saat itu, terdapat lebih dari 50.000 notifikasi produk kosmetika dikeluarkan dalam setahun. Padahal, sebelum tahun 2011 hanya sekitar 9.000 notifikasi setahun.
Oleh sebab itu, secara umum, anggaran dan frekuensi pengawasan rutin produk kosmetik yang beredar di pasaran pun ditingkatkan hingga 30 persen.
Selain pengawasan produk yang beredar di pasaran pengawasan juga dilakukan dengan melakukan inspeksi ke produsen atau importis kosmetik. Meski dalam notifikasi industri tidak wajib melampirkan dokumen terkait mutu, keamanan, dan manfaat produk ketika diperiksa mereka harus bisa menunjukannya.
Di luar itu, BPOM menggelar edukasi kepada konsumen, terutama kepada generasi muda. Tujuannya, agar mereka menjadi konsumen cerdas dalam memilih produk kosmetik. "Setidaknya sebelum membeli kosmetik mereka mengecek izin edarnya terlebih dulu," ujar Mayagustina.