Sebanyak 17 persen manusia di dunia meninggal karena kanker, tetapi kurang dari 5 persen gajah yang meninggal karena kanker. Selama tiga tahun ilmuwan di Amerika Serikat meneliti mengapa gajah lebih sedikit terkena kanker dibanding manusia. Jawabannya, gajah memiliki gen zombie yang melindunginya dari kanker.
Penelitian berjudul “Gen LIF Zombie pada Gajah Diatur oleh TP53 untuk Menginduksi Kematian Sel sebagai Respons terhadap Kerusakan DNA” itu dimuat dalam jurnal Cell Reports edisi 14 Agustus 2018 yang juga dipublikasikan sciencedaily.com.
Penelitian dilakukan Departemen Genetika Manusia Universitas Chicago, AS, yaitu Juan Manuel Vazquez, Michael Sulak, Sravanthi Chigurupati, dan Vincent J Lynch.
Prevalensi kanker pada hewan dan manusia itu dikerjakan oleh LN Ableggen dari Universitas Utah, AS, dan kawan-kawan. Penelitian berjudul “Mekanisme Potensial untuk Resistensi Kanker pada Gajah dan Respons Seluler Komparatif terhadap Kerusakan DNA pada Manusia” itu dimuat dalam jurnal JAMA tahun 2015.
Hasil penelitian Ableggen dan kawan-kawan menunjukkan, meskipun ukuran tubuh gajah besar dan rentang hidup panjang, gajah tetap resisten terhadap kanker, dengan perkiraan angka kematian karena kanker 4,81 persen. Angka kematian karena kanker pada manusia berkisar 11 persen - 25 persen.
“Dibandingkan dengan spesies mamalia lainnya, gajah tampaknya memiliki tingkat kanker yang lebih rendah. Dibandingkan dengan sel manusia, sel gajah menunjukkan peningkatan respons kematian sel (kanker) setelah kerusakan DNA,” kata Ableggen dalam kesimpulannya.
Juan Manuel Vazquez dan kawan-kawan mencari jawaban mengapa gajah lebih resisten terhadap kanker. Secara ringkas, para peneliti dalam abstrak menjelaskan, organisme berbadan besar memiliki lebih banyak sel yang berpotensi berubah menjadi kanker daripada organisme berbadan kecil, yang menyebabkan peningkatan risiko terkena kanker. Jadi, ada korelasi positif antara ukuran tubuh dan risiko kanker. Namun, tidak ada korelasi antara ukuran tubuh dan risiko kanker di seluruh spesies, yang disebut sebagai “paradoks Peto”, yang diambil dari nama peneliti penemunya yaitu R Peto tahun 1975.
Tim ilmuwan AS tersebut menunjukkan bahwa gajah dan kerabat ordo Proboscidea lainnya yang telah punah mungkin telah memecahkan paradoks Peto sebagian melalui refungsionalisasi gen palsu atau pseudo gen faktor penghambatan leukemia atau leukemia inhibitory factor (LIF6) dengan fungsi pro-apoptosis atau mematikan sel. LIF6 diatur oleh gen TP53 sebagai respons terhadap kerusakan DNA dan mesuk ke mitokondria, sumber energi sel, di mana ia menyebabkan kematian sel.
Hewan-hewan dalam kelas Paenungulata seperti gajah, lembu laut, dan hyrax, mengandung banyak duplikat pseudogen LIF, yaitu LIF6. Vincent J Lynch dan rekan-rekan menemukan bahwa bekas pseudogen LIF6 itu berevolusi. LIF6, yang kembali dari kematian, telah menjadi gen kerja yang berharga. Gen LIF6 membuat protein yang berjalan cukup cepat ke mitokondria. Protein itu menusuk lubang di mitokondria, yang menyebabkan sel mati.
“Makanya disebut zombie. Gen yang mati ini hidup kembali. Ketika ia dihidupkan oleh DNA yang rusak, ia membunuh sel itu, dengan cepat. Menyingkirkan sel itu dapat mencegah kanker berikutnya,” kata Lynch menjelaskan kerumitan proses di tingkat gen tersebut.
Hewan yang lebih besar memiliki sel yang jauh lebih banyak dan cenderung hidup lebih lama. Hal itu berarti lebih banyak waktu dan kesempatan untuk mengakumulasi mutasi sel penyebab kanker. Ini juga bisa terjadi pada skala yang lebih kecil. Manusia yang lebih tinggi, misalnya, memiliki angka kejadian kanker yang sedikit daripada orang dengan ukuran rata-rata.
“Hewan besar dan berumur panjang pasti telah mengembangkan mekanisme yang kuat untuk menekan atau menghilangkan sel-sel kanker untuk hidup selama mereka melakukannya,” kata Juan Manuel Vazquez.