JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah menaikkan tarif Pajak Penghasilan atau PPh impor barang konsumsi, barang penolong, dan bahan baku berpotensi menyulitkan pelaku usaha. Sebagian besar kebutuhan bahan baku masih belum dapat dipenuhi dari dalam negeri. Pemerintah diminta berhati-hati mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Kenaikan tarif PPh impor menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mengendalikan impor dan mengurangi defisit transaksi berjalan. Tarif PPh impor barang konsumsi, barang penolong, dan bahan baku yang semula 2,5 persen dinaikkan menjadi 7,5 persen.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia Dorodjatun Sanusi, Rabu (15/8/2018), mengatakan, 95 persen kebutuhan bahan baku industri farmasi dipenuhi dari impor. Oleh sebab itu, kenaikan tarif PPh impor bakal memberatkan pengusaha farmasi.
”Akibatnya adalah bisa saja harga obat-obatan menjadi naik,” kata Dorodjatun.
Dorodjatun berharap tarif PPh impor hanya diberlakukan pada barang jadi dan bukan bahan baku.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronik Ali Soebroto. Ali menilai kebijakan menaikkan tarif PPh impor sebagai hal yang tepat untuk menekan defisit transaksi berjalan. Namun, ia berpendapat, tarif PPh impor sebaiknya diterapkan untuk impor bahan jadi dan bukan bahan baku.
Jika impor bahan baku dikenakan tarif PPh impor 7,5 persen, itu akan mengganggu produksi. Selain itu, cashflow produsen juga akan terganggu. Ali menyebut kebijakan pemerintah itu bisa membunuh industri.
Menurut Ali, sekitar 60 persen produk elektronik di Indonesia telah diproduksi di dalam negeri. Kebanyakan produk elektronik yang telah diproduksi di dalam negeri itu merupakan gawai. Sementara 40 persen lainnya masih diimpor, seperti mesin pendingin ruangan, lemari es, dan mesin cuci.
”Untuk bahan baku pembuatan barang elektronik itu enggak boleh dihambat dengan peraturan tarif PPh,” kata Ali.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman keberatan tarif PPh impor dinaikkan. Menurut dia, barang modal dan bahan baku impor masih sangat diperlukan produsen makanan dan minuman. Hal itu karena belum semua bahan baku bisa dipenuhi dari dalam negeri. Porsi impor bahan baku makanan dan minuman rata-rata 70 persen.
”Ini akan mengganggu daya saing kita dan mengganggu ketersediaan bahan,” ujarnya.
Adhi berharap pemerintah dapat menentukan bahan baku mana saja yang dikenakan kenaikan tarif PPh. Dengan kenaikan tarif PPh impor dan depresiasi rupiah, Adhi memperkirakan harga makanan dan minuman di Indonesia berpotensi naik 6-9 persen.
Namun, di tengah situasi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih, opsi menaikkan harga akan ditempatkan paling akhir. Gapmmi mengupayakan untuk melakukan efisiensi agar margin tidak terlalu tertekan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute of Development for Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyampaikan, pemerintah mesti mengategorisasi secara detail barang-barang yang diimpor.
Langkah itu dimaksudkan agar tidak terjadi ”pukul rata” terhadap barang-barang impor. Menurut Enny, selama ini pemerintah tidak serius merinci produk-produk yang akan dikenai kenaikan tarif pajak impor. Hal itu penting agar kebijakan kenaikan tarif pajak impor tidak sampai mengganggu produktivitas.
Enny menambahkan, jika pengendalian impor tidak dilakukan secara hati-hati dan detail itu justru malah berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
”Sepanjang itu impor bahan baku mestinya tidak masalah karena itu justru meningkatkan produktivitas dalam negeri. Namun, kalau impornya bersifat barang konsumtif, itu yang harus dikendalikan,” tutur Enny.