Kualitas tidur yang buruk, baik kuantitas maupun kedalamannya, secara nyata berdampak buruk bagi kesehatan. Namun, kurang tidur nyatanya bisa memunculkan rasa kesepian, kurang percaya diri hingga menarik diri dari lingkungan sosial. Uniknya, kesepian yang dialami orang kurang tidur itu bisa menular ke orang lain.
Hasil itu diperoleh dari riset yang dilakukan peneliti di Pusat Ilmu Tidur Manusia Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat, Eti Ben Simon dan Matthew P Walker. Penelitian berjudul ”Sleep Loss Causes Social Withdrawal and Loneliness” itu dipublikasikan di jurnal Nature Communications, Selasa (14/8/2018).
Studi dilakukan dengan menguji 18 orang dewasa muda di laboratorium dengan tidur malam yang normal dan kurang. Selanjutnya, para responden menjalani tugas jarak sosial guna mengukur seberapa nyaman mereka dengan kehadiran orang lain yang mendekati mereka.
Responden akan memencet tombol stop saat ada orang mendekat sampai pada jarak tertentu yang menurutnya paling nyaman. Tugas yang sama juga dilakukan responden ketika otaknya dipindai sambil menonton video orang lain mendekati mereka.
Dari tugas itu, responden yang sedang kurang tidur akan memencet tombol stop saat orang lain berada pada jarak cukup jauh dari mereka. Sebaliknya, saat cukup tidur, responden umumnya baru memencet tombol ketika orang lain itu sudah berada pada jarak lebih dekat.
”Jarak sosial yang membuat seseorang nyaman akan bertambah 13-18 persen saat mereka kurang tidur,” tulis penulis seperti dikutip dari Live Science, Selasa.
Jarak sosial yang membuat seseorang nyaman akan bertambah 13-18 persen saat mereka kurang tidur.
Hasil pemindaian otak menunjukkan, orang kurang tidur akan mengalami peningkatan aktivitas otak di daerah disebut jaringan ruang-dekat. Area otak ini akan aktif saat seseorang merasakan potensi ancaman datang dari orang lain.
Sementara jaringan ruang-dekat di otak responden yang kurang tidur menjadi aktif, bagian otak lain yang disebut jaringan teori pikiran justru berkurang keaktifannya. Bagian otak ini mendorong interaksi sosial manusia. Karena itu, orang yang kurang tidur cenderung menarik diri dari pergaulan sosial.
Untuk menguji hasil itu pada populasi umum, periset menguji pada 140 orang dengan melacak seberapa mudah mereka tertidur dan berapa lama mereka tidur. Pelacakan dilakukan selama dua malam. Hasilnya, orang-orang yang tidur buruk dari satu malam ke malam berikutnya mengaku mengalami peningkatan rasa kesepian. Sebaliknya yang memiliki pola tidur lebih baik melaporkan berkurangnya rasa kesepian.
Menular
Ternyata, rasa kesepian yang dialami orang yang kurang tidur itu bisa menular. Simpulan itu diperoleh peneliti dengan mengundang 1.000 orang untuk menonton video dari peserta penelitian di laboratorium yang diwawancara saat kurang dan cukup tidur. Hasilnya, penonton menilai orang yang kurang tidur tampak kesepian dan kurang ingin berinteraksi atau bekerja sama.
Uniknya, penonton juga mengaku merasa kesepian setelah mereka menonton wawancara peserta uji laboratorium yang kurang tidur. Itu berarti, dengan melihat kondisi yang kesepian pada orang yang kurang tidur bisa membuat seseorang turut merasa kesepian.
”Semua orang di sekitar kita akan merasa baik jika kita cukup tidur 7-9 jam setiap malam, tetapi orang-orang di sekitar kita juga akan tidak baik jika kita kurang tidur,” kata Walker yang juga seorang ahli neurosains.
Semua orang di sekitar kita akan merasa baik jika kita cukup tidur 7-9 jam setiap malam, tetapi orang-orang di sekitar kita juga akan tidak baik jika kita kurang tidur.
Menariknya, kata Walker, hanya dengan tidur satu malam yang baik, waktu dan kualitas tidurnya terjaga, akan membuat seseorang merasa lebih terbuka, percaya diri dan akan menarik orang-orang di dekat mereka untuk mendekat. Kondisi itu diyakini merupakan pengaruh dari perubahan suasana hati (mood) dan peningkatan kecemasan yang dialami oleh mereka yang kurang tidur.
Kesepian yang menular dari orang yang kurang tidur inilah yang dikhawatirkan para peneliti akan mengarah ke lingkaran setan yang melanggengkan kesepian. Kini, di negara-negara maju, kesepain menjadi persoalan rumit karena berdampak besar pada kesehatan mental dan fisik mereka.
”Beberapa dekade terakhir, entah kebetulan atau tidak, terjadi peningkatan jumlah orang-orang yang mengalami kesepian dan penurunan durasi tidur yang dramatis,” kata Simon.
Waktu tidur masyarakat di negara-negara maju dengan tekanan ekonomi tinggi semakin berkurang, jauh dari standar tidur berkualitas 7-9 jam per malam. Kota-kota yang hidup 24 jam justru dianggap sebagai tanda kemajuan. Bahkan, aktivitas ekonomi yang berlangsung hingga tengah malam justru dianggap masyarakat yang produktif.
Pada 2014, masyarakat perkotaan di Asia Timur, seperti Tokyo dan Seoul, tidur 5-6 jam per hari. Di Asia Tenggara, masyarakat Singapura dan Kuala Lumpur tidur 6-7 jam per hari. Namun, bangsa-bangsa Barat, baik di Eropa, Australia, maupun AS, justru tidur lebih dari 7 jam setiap hari.
”Dalam budaya Timur, banyak tidur justru dianggap pemalas,” kata dokter praktisi kesehatan tidur di Snoring & Sleep Disorder Clinic (Klinik Mendengkur dan Gangguan Tidur) di Pondok Indah, Jakarta, Andreas Prasadja, seperti dikutip Kompas, 16 Maret 2018.
Karena itu, mulai sekarang, jangan sepelekan tidur, durasi, kualitas, dan waktunya. Tidur bukan hanya untuk meregenerasi sel-sel tubuh, tetapi juga mendapatkan manfaat kesehatan dari keluarnya sejumlah hormon tertentu pada jam-jam tidur sesuai evolusi manusia, yaitu saat hari gelap.
Bahkan, tidur juga penting agar kita tak jadi sumber kesepian dan membuat orang lain suka mendekati kita. ”Tanpa tidur yang cukup, seseorang telah menjadi penghalau sosial dan memicu kesepian yang menular,” kata Simon.