Mahasiswi Meninggal di Jerman, Ucapan Dukacita Mengalir
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Ucapan dukacita terus mengalir kepada keluarga Shinta Putri Diana Pertiwi (24), mahasiswi S-2 Jurusan Forensik Mikrobiologi di University of Bayreuth, yang ditemukan tewas tenggelam di danau di Jerman, pekan lalu. Keluarga saat ini menunggu kedatangan jenazah Shinta, yang difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri.
Rabu (15/8/2018), ungkapan dukacita datang dari kerabat, rekan, dan tetangga keluarga Shinta. Sang ayah, Agus Salim, dan ibunda Umi Salamah dengan tegar menerima ucapan dukacita itu sambil menunggu datangnya jenazah Shinta di rumah mereka di Bandulan Gang XII, Kota Malang, Jawa Timur.
Orangtua Shinta menerima kabar meninggalnya sang anak karena tenggelam pada Jumat (10/8/2018). Saat itu, dikabarkan Shinta berenang bersama temannya di Danau Trebgas Badesse, Bavaria, Jerman, pada Rabu (8/8/2018) waktu setempat.
Setelah dua jam berenang, Shinta tidak juga muncul dan akhirnya hal itu dilaporkan oleh temannya kepada pihak berwajib. Kamis, 9 Agustus, jenazah Shinta ditemukan di kedalaman 4,5 meter, sejauh 3.000 meter dari lokasi terakhir dia berenang.
”Ia memang senang berenang sejak TK. Di Jerman, ia senang berenang di danau dan sungai dengan air-air bersih. Ia berenang di Florensia Italia, Polandia, dan Swiss. Kini ia pun meninggal di air,” tutur Agus Salim, Rabu.
Shinta, menurut sang ayah, pada 2011, saat masih SMA, pernah memenangi lomba web design bertema pelestarian air bersih yang digelar Kompas. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Sang kakak menempuh program doktoral ITB, yang saat ini meneliti tentang energi terbarukan, sedangkan adiknya saat ini menjalani skripsi S-1.
”Saya seperti mimpi pernah punya anak bernama Shinta,” kata sang ayah. Itu karena Shinta adalah seorang anak mandiri, dengan semua hal kebutuhannya akan diurusnya sendiri. Shinta sudah lima tahun menempuh studi di Jerman dan belum sekali pun pulang ke Tanah Air. Sang ibu pernah sekali menjenguknya di Jerman.
Umi Salamah mengatakan, sang anak berkepribadian supel dan toleran. Shinta, lanjutnya, akrab dengan sejumlah kawan dari etnis dan agama berbeda. Bahkan, dengan mereka yang ateis pun, Shinta berteman.
”Saya beragama untuk menjadi berperilaku baik, bisa membantu orang lain, dan mengajarkan akhlak baik,” kata sang ibu, menirukan jawaban Shinta kepada temannya yang ateis di Jerman.
Shinta bahkan menjadi kawan baik keluarga ateis tersebut. Sebab, pernah suatu akhir pekan, Shinta mengantar temannya yang mabuk untuk pulang ke rumah seusai berpesta. Di rumah temannya itu, Shinta bertemu dengan orangtua kawannya. Mereka kaget melihat Shinta berhijab dan menganggap Shinta sebagai teroris. Akan tetapi, dengan tenang, Shinta pun menjawab pertanyaan orangtua temannya itu.
”Saya Muslim, tapi saya bukan teroris. Agama saya mengajarkan menolong yang lemah,” jawab Shinta sebagaimana ditirukan sang ibu. Sejak itu, Shinta berteman akrab dengan keluarga temannya tersebut. Bahkan, Umi mengatakan, Shinta kecewa dengan aksi mengatasnamakan agama yang belakangan marak terjadi di Indonesia.
”Kami sekarang tinggal menunggu kedatangan jenazah almarhumah. KJRI mengabarkan, paling cepat jenazah akan tiba Jumat. Saat ini masih proses administrasi pemulangan jenazah. Semoga kepulangan jenazah anak kami dimudahkan,” tutur Umi yang merupakan dosen Bahasa Indonesia di Universitas Brawijaya, Malang.
Sebelumnya, keluarga Shinta menggalang dukungan donasi untuk membantu pembiayaan kepulangan jenazah Shinta melalui kitabisa.com. Hal itu dilakukan karena kabar meninggalnya Shinta cukup mendadak dan ongkos untuk memulangkan jenazahnya hingga ratusan juta rupiah.
Saat ini, donasi untuk Shinta tersebut sudah dihentikan karena nilainya sudah mencukupi. Bahkan, Kementerian Luar Negeri RI pun berjanji akan memfasilitasi kepulangan jenazah Shinta.