Nasib Tunawisma di New Delhi, Diancam Warga dan Petugas Keamanan
Manjeet Kaur, perempuan yang hidup di trotoar jalan di New Delhi, India, tak bisa mengatakan berapa tepatnya usianya saat ini atau berapa lama dia telah tinggal di jalanan. Seluruh barang miliknya disimpan dalam tas plastik, cucian bajunya tergantung di pagar jalanan.
Kaur diusir keluarga suaminya dari rumah mereka di Kota Ludhiana, India utara, beberapa tahun lalu, setelah bertengkar terkait properti. Kaur lalu menaiki bus ke New Delhi bersama dua putranya yang masih kecil. Dia pergi ke Kuil Sikh Gurudwara untuk memperoleh makanan gratis.
Tanpa uang dan tidak ada sanak keluarga untuk dituju, Kaur dan putra-putranya memilih tinggal di trotoar di luar Kuil Sikh Gurudwara. Mereka tinggal di sana bersama para tunawisma lainnya. Saat hujan, mereka melindungi diri dengan lembaran plastik. Para tunawisma tak memiliki tempat berlindung yang memadai saat cuaca dingin atau panas, bahkan ketika suhu udara melonjak di atas 40 derajat celsius.
Tanpa uang dan tidak ada sanak keluarga untuk dituju, Kaur dan putra-putranya memilih tinggal di trotoar di luar Kuil Sikh Gurudwara.
”Saya tidak memiliki tempat tinggal. Rumah, tanah, tidak ada yang atas nama saya,” kata Kaur. ”Di sini, polisi mengganggu kami, penduduk setempat mengecam kami, dan kadang-kadang saya takut tidur. Namun, kami tidak mampu membayar sewa rumah, sementara tempat penampungan yang tersedia tidak memeadai. Jadi, pilihan apa yang kami miliki?”
Kaur adalah satu dari 10.000 perempuan tunawisma di New Delhi, tempat ribuan orang datang setiap hari dari desa dan kota kecil untuk mencari peluang hidup lebih baik. Para pendatang banyak yang berakhir di permukiman kumuh atau penampungan informal lainnya. Bahkan, ada yang menetap di kolong jembatan, jalan layang, di trotoar, serta pembatas jalan.
Menderita
Perempuan yang diperkirakan berjumlah 10 persen dari populasi tunawisma di India menderita akibat krisis yang semakin parah sebagai dampak urbanisasi yang cepat. Mereka juga mengalami tekanan akibat lonjakan harga properti serta kurangnya tempat penampungan dan perumahan dengan harga terjangkau.
Situasi semakin sulit karena tidak ada data persis mengenai jumlah tunawisma, khususnya perempuan. Menurut sensus 2011, New Delhi yang berpenduduk lebih dari 16 juta orang memiliki 46.724 tunawisma. Jumlah tunawisma di New Delhi adalah yang terbesar di antara kota lain di India.
Menurut kelompok HAM, perkiraan jumlah tunawisma itu tergolong konservatif. Angka yang sebenarnya bisa tiga kali lebih tinggi. Mereka juga mempertanyakan penurunan jumlah tunawisma yang dilaporkan. Data hasil sensus nasional tahun 2011 menunjukkan, populasi tunawisma India 1,77 juta orang. Satu dekade sebelumnya, ada 1,9 juta tunawisma. Padahal, berdasarkan data, pada periode yang sama, tunawisma di perkotaan naik seperlima.
Jumlah tunawisma di New Delhi adalah yang terbesar di antara kota lain di India.
”Kota-kota di India tumbuh luar biasa. Hal ini memberi tekanan pada kapasitas pemerintah untuk menanggapi kebutuhan masyarakat, termasuk para tunawisma,” kata Ashwin Parulkar dari Pusat Pemikiran Kebijakan dan Penelitian yang berbasis di New Delhi.
”Pemerintah tidak memiliki pemahaman yang akurat mengenai jumlah tunawisma: siapa mereka, di mana mereka, apa kebutuhan mereka. Hal ini menghalangi pembuatan kebijakan untuk merencanakan dan menyediakan rumah bagi mereka,” kata Parulkar.
150 juta orang
Secara global, setidaknya ada 150 juta orang atau sekitar 2 persen dari populasi diperkirakan menjadi tunawisma. Lebih dari seperlima penduduk tidak memiliki rumah memadai.
Joseph Chamie, mantan Direktur Badan Populasi Inggris, mengatakan, menerapkan penanganan yang akurat terhadap tunawisma terbilang sulit karena definisi yang berbeda-beda di banyak negara serta ketidakmampuan pemerintah mengukur secara memadai fenomena tersebut.
Pemerintah juga memiliki kecenderungan mengecilkan masalah, sementara para tunawisma enggan didata. Namun, penyebab orang menjadi tunawisma adalah sama: kemiskinan, kurangnya perumahan yang terjangkau, penyakit mental, kecanduan alkohol dan obat-obatan, gangguan keluarga, konflik sipil, dan bencana lingkungan.
Pemerintah juga memiliki kecenderungan mengecilkan masalah, sementara para tunawisma enggan didata.
”Tidak ada solusi cepat, bahkan negara-negara maju menghadapi kesulitan yang cukup besar. Jadi, mengakhiri tunawisma perkotaan di negara-negara berkembang, itu tidak mungkin,” kata Chamie.
Dengan sedikitnya 55 persen populasi dunia tinggal di pusat kota, tunawisma semakin nyata, dari Los Angeles hingga ke Hong Kong. Masalah tunawisma sangat parah di India. Diperkirakan persoalan tunawisma di India ini akan mengalahkan China pada 2024 sebagai negara paling padat di dunia.
Puluhan juta orang berjejalan ke kota-kota yang sudah padat penduduk.
Bersamaan dengan hal itu, penggusuran meningkat. Setidaknya enam rumah dirobohkan dan 30 orang dipaksa pindah setiap jam di India guna membuka jalan untuk pembangunan stasiun metro dan jalan raya.
Para perempuan tunawisma menanggung beban karena menghadapi lebih banyak pelecehan dan kekerasan di jalan. Akan tetapi, menurut Shivani Chaudhry dari kelompok advokasi Perumahan dan Jaringan Hak-hak Tanah di New Delhi, mereka ada yang memiliki klaim atas properti dan akses terbatas ke tempat penampungan.
Menurut Chaudhry, banyak dari perempuan tunawisma yang meninggalkan perkawinan karena kekerasan dalam rumah tangga, mengalami kekerasan seksual, atau telah ditinggalkan keluarga karena penyakit mental atau kematian suaminya. ”Perempuan tunawisma mengalami kekerasan dan merasa tidak aman. Mereka rentan terhadap pelecehan seksual, eksploitasi, dan perdagangan manusia. Tempat penampungan bukan solusi permanen,” kata Chaudhry.
Sediakan perumahan
India telah berkomitmen menyediakan perumahan bagi semua warganya pada tahun 2022, dan hendak membangun 20 juta rumah di perkotaan. Namun, para analis mengatakan, program itu tidak akan sampai warga tunawisma karena mereka tidak mampu membayar hipotek.
Mahkamah Agung telah memerintahkan agar pemerintah negara bagian di India menyediakan setidaknya satu tempat penampungan 24 jam untuk setiap 100.000 penduduk di pusat kota besar. Beberapa negara bagian telah memenuhi hal tersebut, tetapi biaya lahan masih terbilang tinggi.
”Prioritas utama kami adalah memiliki tempat penampungan permanen dengan fasilitas dan layanan yang memadai, termasuk perawatan kesehatan, pelatihan kerja, dan konseling,” kata Bipin Rai, pejabat senior di Dewan Perbaikan Penampungan Urban New Delhi.
”Tantangan utamanya adalah kurangnya lahan. Jadi, kita harus puas dengan tempat penampungan sementara,” katanya. Delhi memiliki tempat penampungan paling banyak di antara kota di India, yakni sekitar 200 tempat untuk menampung lebih dari 16.000 orang.
Ada 20 tempat penampungan untuk perempuan. Lebih dari separuh tempat penampungan itu adalah kabin portabel yang terbuat dari baja dengan beberapa fasilitas. Di beberapa tempat penampungan perempuan yang permanen, mereka mendapat makan tiga kali sehari, pelatihan keterampilan, dan membantu mendapatkan kartu identifikasi serta sekolah untuk anak-anak mereka.
Di salah satu tempat penampungan seperti itu, Saima yang sebelumnya tinggal di jalanan New Delhi mengatakan bahwa ia ingin mendapatkan cukup uang sehingga bisa tinggal di rumah dengan keluarganya. Namun, baginya keinginannya itu sangat sulit untuk dibuat menjadi nyata. ”Ini mungkin satu-satunya rumah kami,” kata Saima. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)