MAGELANG, KOMPAS- Profesi sebagai buruh migran yang ada pada keluarga-keluarga di daerah sentra TKI di Indonesia, biasanya diteruskan turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Anak-anak TKI biasanya secara otomatis bercita-cita dan terjun sebagai buruh migran karena mereka tidak melihat profesi lain yang lebih menjanjikan, mendatangkan penghasilan lebih banyak dibanding profesi TKI.
Hal ini terungkap dari hasil penelitian bertajuk Child Health and Migrant Parentsin South East Asia yang pernah dilakukan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) bekerjasama dengan National Universitif of Singapore (NUS) di Singapura, Hongkong University di Hongkong, Sussex University di Inggris, terhadap 1.032 anak di empat kabupaten sentra TKI, yaitu Kabupaten Ponorogo, Tulungagung, Tasikmalaya, dan Sukabumi.
Penelitian tersebut dilakukan selama dua kali pada tahun 2008 dan 2016. Hal yang sama juga terungkap dari tinjauan lapangan dalam summer course yang diselenggarakan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM selama 12 hari di tiga desa di tiga kecamatan di Kabupaten Wonosobo.
Sri Purwatiningsih, salah seorang peneliti PSKK UGM yang juga terlibat dalam penelitian Child Health and Migrant Parents in South East Asia, mengatakan, dari hasil penelitian tersebut, anak-anak buruh migran tersebut tidak memiliki gambaran masa depan yang lebih baik selain menjadi TKI.
“Kalau toh ingin lebih sukses dibanding orangtuanya, maka pilihan yang dianggap lebih baik oleh anak-anak tersebut adalah menjadi TKI di sektor formal, bekerja di pabrik dan bukan menjadi pembantu rumah tangga,” ujarnya, Selasa (14/8/2018).
Selain karena melihat contoh dari orangtuanya, dorongan kuat untuk menjadi TKI tersebut muncul karena di daerah sentra TKI tersebut banyak kerabat, tetangga di sekitar rumah, juga bekerja sebagai TKI.
Anak-anak buruh migran tersebut juga termotivasi menuntaskan Pendidikan SMA, hanya sebatas agar bisa memenuhi syarat batas minimal Pendidikan untuk menjadi TKI. Sekalipun memiliki uang, kebanyakan dari mereka memilih tidak melanjutkan kuliah, dan tidak menggali lebih dalam kemampuan dan Pendidikan, sesuai dengan bakat dan minatnya.
“Anak-anak TKI tersebut tidak lagi tertarik untuk mengasah kemampuan yang lain karena mereka hanya tahu masa depan selanjutnya adalah menjadi TKI,” ujarnya.
Menurut Tri, kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk membenahi, dan menggarap lebih serius tentang pola pengasuhan, dan Pendidikan anak-anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya yang menjadi buruh migran di luar negeri.
“Potensi anak-anak itu terlalu sayang untuk dibiarkan hanya menjadi buruh migran belaka,” ujarnya.
Stevi Yean Marie (41), salah seorang warga yang menjadi pendamping mantan buruh migran dan buruh migran aktif di Desa Lipursari, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, mengatakan, saat ini, masih sulit untuk menahan warga desanya untuk tidak kembali, berulangkali memperpanjang kontrak menjadi buruh migran. Satu-satunya cara agar mereka bisa mendapatkan masa depan lebih baik, menurut dia, sementara ini sebatas hanya bisa dilakukannya dengan memberikan tambahan ketrampilan dengan membuat kue.
“Kalau toh kemudian mereka tidak tertarik untuk berwirausaha, setidaknya kemampuan membuat kue tersebut akan membuat mereka lebih dihargai majikan dan mudah-mudahan nantinya juga bisa membuat mereka mendapatkan gaji tinggi,” ujarnya.