Dalam kebijakan politik luar negeri Rusia, isu Afrika relatif tidak penting, bahkan mungkin berada di posisi paling bawah. Namun, posisi itu berubah saat Presiden Rusia Vladimir Putin berambisi mengembalikan Rusia menjadi pemain utama di panggung global. Afrika kini menjadi sasaran politik Rusia.
Minat terhadap Afrika mulai berkembang cepat sejak tiga tahun terakhir, khususnya setelah Rusia mencaplok Crimea dari Ukraina pada 2014. Tingkat kerja sama Rusia semakin meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Moskwa menjalin kerja sama militer dengan sejumlah negara di Afrika dalam bentuk penjualan senjata dan pelatihan oleh personel militer dan juga "pelatih sipil".
Sejak awal tahun ini misalnya, Rusia mulai menjual senjata kepada Republik Afrika Tengah yang merupakan bekas jajahan Perancis yang miskin dan secara politik selalu tidak stabil. Penjualan senjata berlangsung setelah Rusia memperoleh otorisasi dari PBB. Moskwa juga memberikan penjagaan bagi Presiden Faustin Archange Touadera, yang penasihat keamanannnya berasal dari Rusia.
Para pengamat meyakini bahwa 170 personel sipil yang diperbantukan Rusia untuk melatih tentara militer Afrika Tengah merupakan kelompok tentara bayaran bernama Wagner yang anggotanya dilaporkan ikut bertempur di Suriah. Tiga wartawan Rusia bulan lalu tewas di Afrika Tengah ketika sedang melakukan investigasi terkait aktivitas tentara bayaran.
Selain Afrika Tengah, Rusia juga mengirim persenjataan ke Kamerun yang saat ini terlibat pertempuran dengan kelompok Boko Haram. Selain itu, Moskwa juga menjalin kemitraan militer dengan Republik Demokratik Kongo, Burkina Faso, Uganda, Angola, dan Sudan.
Keuntungan politik
Menurut Dmitry Bondarenko, pengamat dari Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, sejak pencaplokan Crimea, posisi Rusia berseberangan dengan Barat. Menguasai Afrika, menurut dia, bukan demi kepentingan ekonomi, melainkan untuk kepentingan politik. "Jika ingin menjadi kekuatan global, maka keberadaan Afrika tidak bisa diabaikan," kata Bondarenko.
Pada masa Perang Dingin, Uni Soviet pernah memiliki pengaruh yang kuat di Afrika, sebagai bagian dari kampanye ideologi melawan Barat. Namun, pada 1990-an, kejayaan Uni Soviet runtuh, sehingga "proyek Afrika" ditinggalkan. Krisis ekonomi dan politik di Rusia saat itu membuat sejumlah kedutaan besar dan konsulatnya di Afrika ditutup, berbagai bentuk kerja sama dihentikan.
Namun, pada era Putin, saat kehadiran Rusia kembali diperhitungkan secara politik dan ekonomi, Moskwa mulai membangun jaringan di Afrika. Salah satu isyarat kuat adalah kunjungan Putin ke Aljazair, Afrika Selatan, Maroko dan Mesir.
Pendahulunya, Dmitry Mevedev, juga melakukan kunjungan resmi ke Angola, Namibia, dan Nigeria dengan membawa rombongan sebanyak 400 orang, antara lain para pengusaha. Tahun ini Menlu Rusia Seregi Lavrov melakukan kunjungan maraton ke lima negara Afrika.
Pada era Putin, saat kehadiran Rusia kembali diperhitungkan secara politik dan ekonomi, Moskwa mulai membangun jaringan di Afrika.
Bagi sejumlah negara Afrika, bekerja sama dengan Rusia menarik karena adanya kompetisi dari negara-negara Eropa dan China yang juga menaruh minat pada Afrika. Rusia memiliki keuntungan. Tidak seperti negara-negara Eropa yang memiliki sejarah kolonial dengan Afrika, Rusia tak mempunyai beban itu, Kehadiran mereka lebih disambut dengan tangan terbuka.
"Kehadiran Rusia di Afrika bisa mengubah geopolitik di benua ini," kata Bondarenko. (AFP)