Tawuran masih menjadi kasus kriminalitas yang mencemaskan. Terakhir, Senin malam lalu, tawuran antarpelajar pecah di Jalan Mayjen Sutoyo Kebon Pala, Kampung Makasar, tepatnya di jembatan depan Kodam Jayakarta, Jakarta Timur.
Salah satu pelajar berinisial FDP (siswa kelas 2 SMK Rahayu Mulyo) meninggal akibat luka bacokan di paha kiri.
Sementara BA (siswa kelas 2 SMK Rahayu Mulyo) yang terluka di bagian kepala, meninggal kemarin setelah sempat dirawat di RS Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Timur.
Dua pelajar lainnya, yakni DD dan YH, terluka dan dirawat di RS Polri Kramat Jati. Keduanya adalah siswa kelas 1 SMK Rahayu Mulyo.
Menurut keterangan Kapolsek Makasar Komisaris Lumban Tungkup, hingga Selasa (14/8/2018), belum ada tersangka dalam kasus ini. Polisi masih meminta keterangan dua saksi. "Dua pelajar SMK Rahayu Mulyo, berinisial BS dan MGR, diamankan di Polsek Makasar untuk dimintai keterangan," katanya di Polsek Makasar.
Usai pemeriksaan, BS dan MGR mengatakan, mereka tidak tahu penyebab tawuran. "Saya nggak tahu apa-apa. Cuma jagain motor," ucap BS yang sudah dua kali ikut tawuran itu.
BS dan MGR membawa FDP ke RS Polri, sebelum FDP meninggal.
Tawuran antarpelajar di daerah Kramat Jati, menurut Bintara Pembina Kemananan dan Ketertiban Masyarakat Kelurahan Batuampar Ajun Inspektur Dua Sukur Wahyono, sering terjadi. Sebagai pecegahan, Polsek Kramat Jati berkerja sama dengan SMK Rahayu Mulyo untuk mengawal siswa pulang.
"Setiap hari selalu dikawal sampai mencar di daerah Pusat Grosir Cililitan," papar Sukur.
Anitia (32), warga Batuampar yang tinggal 100 meter dari SMK Rahyu Mulyo, mengatakan, tawuran di situ sudah terjadi sejak lama. "Sering (tawuran) sejak 1990-an. Musuh bebuyutannya, setahu saya memang (SMK) Respati," jelas Anitia.
Imbauan yang terpasang di salah satu sisi SMK Rahayu Mulyo, salah satu poinnya adalah menghindarkan tawuran.
Kumalasari (40), orang tua siswa SMK Rahayu Mulyo, juga sudah tahu sejak lama bahwa sekolah tersebut terkenal sering tawuran. Awalnya ia sempat was-was anaknya terlibat. Namun ia lebih tenang karena pihak sekolah meminta siswa untuk membuat surat pernyataan bermaterai yang intinya menghindari kegiatan-kegiatan negatif, termasuk tawuran.
"Saya sempat lega karena ada surat perjanjian itu. Tapi karena kejadian ini, saya jadi kawatir," ujarnya. Ia pun memilih mengantar-jemput anaknya setiap hari untuk mencegah anaknya terlibat tawuran.
Fenomena tawuran pelajar, menurut Sosiolog Universitas Gadjah Mada Arie Sujito, seperti gunung es. Penyelesaian kasus tawuran selama ini cenderung represif hukum. Hal ini berakibat pada penyelesaian yang tidak menyentuh akar masalah.
"Penyelesaian dengan represif hukum itu sifatnya hanya mampu meredakan sesaat bukan menyelesaikan masalah tawuran ini," jelas Arie.
Pada usia-usia belasan tahun, menurut Arie, energi pelajar sedang tinggi-tingginya, untuk itu diperlukan kegiatan untuk menyalurkan energi mereka.
Menurut keterangan BS dan MGR, selama ini SMK Rahayu Mulyo tidak memiliki kegiatan ekstrakurikuler. "Tidak ada kegiatan apa-apa, cuma belajar lalu pulang," tutup MGR. (Kristi Dwi Utami)