Tumpang Tindih Program Penanganan "Stunting" Kontraproduktif
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pencegahan stunting selama ini tidak dilakukan multisekstor secara konvergen. Semua program yang dikerjakan oleh masing-masing pihak pun akibatnya nyaris tidak berdampak. Cara kerja inilah yang harus diubah jika Indonesia ingin berhasil menurunkan angka stunting dan mendapat keuntungan ekonomi darinya.
Hal itu mengemuka dalam Seminar Strategi Multisektor dalam Penanganan Stunting di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (14/8/2018). Forum tersebut dihadiri berbagai lembaga, antara lain, dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga organisasi profesi bidang kesehatan.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, mengemukakan, dari sisi anggaran sebenarnya pemerintah tidak kekurangan anggaran untuk mendanai program pencegahan stunting. Tahun 2018, misalnya, dana yang digelontorkan untuk program yang mendukung upaya pencegahan stunting melalui kementerian dan lembaga mencapai Rp 47 triliun. Sementara anggaran yang disalurkan melalui pemerintah daerah dan dana desa Rp 93 triliun.
Akan tetapi, selama ini berbagai pihak yang memiliki program penanggulangan stunting baik lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, maupun lembaga donor baru sama-sama kerja mencegah stunting, tetapi belum bekerja sama secara sinergis dan konvergen. Artinya, setiap institusi berjalan masing-masing. Akibatnya, program yang dilaksanakan tidak berdampak besar pada penurunan stunting. Anak yang stunting pun tersebar merata.
Setiap institusi berjalan masing-masing. Akibatnya, program yang dilaksanakan tidak berdampak besar pada penurunan stunting.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, prevalensi anak stunting di Indonesia mencapai 37 persen atau secara jumlah ada 9 juta anak Indonesia yang stunting. Di dunia, Indonesia menempati posisi keempat negara dengan jumlah anak stunting terbesar setelah India (48,2 juta), Pakistan (10 juta), dan Nigeria (10 juta).
Lima kabupaten/ kota dengan prevalensi stunting di Indonesia ialah Kabupaten Timor Tengah Selatan (70,4 persen), Intan Jaya (68,9 persen), Dogiyai (66,1 persen), Lombok Utara (65,8 persen), dan Sumba Tengah (63,6 persen).
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting menjadi 29 persen dan tahun 2019 ditargetkan menjadi 28 persen. Hasil pasti berapa prevalensi stunting terbaru masih menunggu Riskesdas 2018 yang kemungkinan sudah ada hasilnya pada Oktober 2018.
Pengalaman negara-negara di dunia menunjukkan, stunting berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi. Stunting bisa menyebabkan hilangnya 11 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dan mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen.
Stunting bisa menyebabkan hilangnya 11 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dan mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen.
"Stunting menghambat kecepatan pertumbuhan ekonomi. Makanya ini harus dilakukan multisektor. Ini harganya mewah karena koordinasi sulit dilakukan apalagi kalau menyangkut anggaran," kata Mardiasmo.
Oleh karena itu, penanganan stunting tidak mungkin dilakukan hanya oleh pemerintah atau bahkan sektor kesehatan. Organisasi masyarakat sipil, masyarakat, lembaga donor, akademisi, juga media dituntut berperan.
Cara kerja
Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan belanja Negara, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Hidayat Amir, mengatakan, problem utama selama ini bukanlah soal pendanaan tetapi lebih pada pengaturan cara kerja di semua level birokrasi dari pusat hingga daerah. Institusi yang memiliki program serupa seringkali tak saling bicara. Tak heran jika terjadi tumpang tindih program.
"Cara kerja top down harus diubah jadi lebih partisipatif. Potensi pendanaan sangat banyak. Tidak hanya dari pemerintah tapi juga masyarakat," ujarnya.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden Bambang Widianto, menuturkan, komitmen pemimpin tertinggi negeri ini terhadap penurunan stunting sudah ada. Selanjutnya yang penting adalah kampanye, konvergensi program, mendorong kebijakan ketahanan pangan, dan memantau juga mengevaluasi program yang ada.
Satu hal yang juga tak kalah penting ialah mengadvokasi isu stunting kepada para kepala daerah agar mereka lebih serius menangani isu stunting. "Memastikan semua program sampai ke penerima manfaat juga menjadi satu persoalan tersendiri di daerah," ujar Bambang.
Satu hal yang juga tak kalah penting ialah mengadvokasi isu stunting kepada para kepala daerah agar mereka lebih serius menangani isu stunting.
Hal yang bisa dilakukan dalam waktu dekat terkait konvergensi program, ujar Bambang, adalah memperbaiki sistem Dana Alokasi Khusus (DAK) agar bisa mengakomodasi isu stunting, perbaikan program pelayanan kesehatan, gizi, sanitasi, dan air bersih.
Selain itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Dalam Negeri juga sedang bekerja sama untuk mengkonvergensi program-program terkait stunting. Di tingkat desa, dana desa sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk program pencegahan stunting. Namun, pembahasan anggaran di tingkat desa memiliki mekaniesmenya sendiri yang perlu ditinjau kembali.
Hidayat menambahkan, dalam era desentralisasi belum tentu pelayanan dasar bagi masyarakat menjadi prioritas daerah. Oleh sebab itu, seiring dengan komitmen presiden yang memfokuskan pembangunan kualitas manusia di tahun 2018-2019 maka isu stunting perlu terus disosialisasikan secara luas. "Faktor penduduk harus jadi konsideran utama," tegasnya.