73 Tahun yang Menggugah
Andai saja ada satelit sentinel di angkasa Indonesia, hari-hari ini sensornya akan menangkap betapa banyak melodi ”Indonesia Raya” dikumandangkan di Tanah Air.
Lirik seloka gubahan WR Supratman yang pertama kali diperdengarkan di depan peserta Kongres Pemuda pada 1928 itu kita sadari sungguh visioner. Supratman sendiri juga kuat feeling-nya, bahwa lagu ciptaannya akan menjadi lagu kebangsaan Indonesia meski ia tak mengalami masa kemerdekaan karena wafat tujuh tahun sebelum Proklamasi RI.
”Indonesia Raya” menguatkan rasa kebangsaan di penjuru Nusantara, sebagaimana syair simfonik ”Finlandia” ciptaan Jean Sibelius, menggugah rasa kebangsaan bangsa Finlandia tatkala imperium Rusia semakin menguatkan cengkeraman.
Saat itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jonkheer de Graeff, seperti dikutip mendiang Bondan Winarno dalam bukunya tentang lagu kebangsaan RI (2003), mengatakan, ”Untuk apa ada lagu kebangsaan bagi sebuah bangsa yang toh tidak ada?” Dan Sang Gubernur Jenderal pun melarang penyebutan ”Indonesia Raya” sebagai lagu kebangsaan.
Ya, Indonesia sebagai satu bangsa hingga bertahun-tahun kemudian tetap diragukan. Tak kurang pada 1993 pakar politik dari Universitas Columbia di New York, Profesor Stephanie Neuman, menyampaikan, Indonesia adalah satu kemustahilan.
Bagaimana dengan etnik, bahasa, dan agama yang beragam bisa menjadi satu bangsa? Dalam mengatasi kemustahilan inilah tampil para Bapak Pendiri yang, sungguh menakjubkan, di masa jauh sebelum ada Google, telah tercerahkan dan memiliki literasi tinggi. Bapak Pendiri mendengar teori filsuf dan sejarawan Perancis, Ernest Renan, bahwa bangsa bisa lahir karena ada hasrat untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble), juga teori pemikir dan politikus Otto Bauer dari Austria, bahwa bangsa bisa mewujud karena ada persamaan sikap dan nasib.
Melalui perjuangan disertai pengorbanan jiwa dan raga, kelahiran bangsa yang diimpikan itu mewujud pada 17 Agustus 1945. Namun, kita diingatkan, kemerdekaan barulah jembatan untuk mencapai kebangsaan yang dicita-citakan, yakni—seperti dikutip kembali oleh Yonky Karman dalam opininya di harian ini, Rabu (15/8)—”bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.
Saat menyongsong HUT Kemerdekaan, wajar kita merenung dan berefleksi sejauh apa cita-cita kemerdekaan telah dicapai? Kita ingin bersikap fair menilai capaian yang ada dari berbagai sisinya.
Dalam menjalankan amanat ikut menjaga perdamaian dunia, RI memiliki kredensial. Aktif ambil bagian dalam berbagai misi perdamaian PBB, hingga Juni lalu RI diberi mandat lagi menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan yang amat berkuasa.
Kita punya keyakinan, sense of entitlement atau keinginan untuk lebih banyak lagi ambil bagian dalam membangun dunia yang lebih damai dan tertib akan lebih fisibel jika RI lebih sukses lagi dalam membangun sosok atau posturnya di bidang-bidang kunci, seperti ekonomi, militer, iptek, dan sosial-politiknya.
Dengan segala hormat kepada pemimpin dan teknokrat yang ambil bagian dalam tujuh pemerintahan sejak merdeka, capaian RI, dengan segala ongkos dan pengorbanan—yang diberikan oleh rakyat dan sumber daya alam—masih belum optimal.
Dalam bidang politik, misalnya, kita memang sudah bisa mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun, kita juga harus berani mengakui, praksis demokrasi dengan biaya mahal ini belum berhasil memunculkan elite yang sepenuhnya berkiprah setulusnya demi Republik.
Lebih memprihatinkan lagi munculnya realitas akhir-akhir ini, yakni jalan demokrasi yang semestinya memajukan persatuan dan nasionalisme tercoreng oleh munculnya sentimen identitas, yang mestinya terkubur saat kita menerima Pancasila sebagai landasan idiil negara dan berbangsa. Adapun bidang pertahanan-iptek pun berkembang ala kadarnya, sementara ekonomi yang banyak diklaim sebagai salah satu simbol kesuksesan justru merupakan sisi paling rapuh dalam perkembangan negara.
Meski sudah masuk dalam grup elite G-20, dan sering disebut dalam ramalan jadi ekonomi ketujuh dunia pada 2030, kita harus besar hati mengakui rapuhnya perekonomian RI. Muncul rasa heran, RI punya banyak ekonom pintar lulusan universitas ternama dunia, tetapi tak kunjung sanggup memandirikan penyediaan garam, gula, dan beras. Yang terakhir, sukses memacu pembangunan infrastruktur juga tak membuat RI imun dari naiknya suku bunga di AS atau dari terpaan perang dagang.
Jika berdaulat menjadi salah satu tujuan merdeka, kita masih mengelus dada, kalau bukan menitikkan air mata, melihat performa ekonomi yang dalam banyak hal disalip negara seperti Vietnam. Padahal, di saat ia nyaris kehabisan napas seusai perang pada 1975, Indonesia tengah menuju kemajuan meski kemudian juga terbukti hal itu bertumpu pada fondasi yang rapuh.
Namun, sebagai bangsa yang merebut kemerdekaan dengan darah dan air mata, Indonesia harus tetap optimistis. ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Untuk itu berhentilah menjadi manusia kerdil sebagaimana disinggung Bung Hatta ketika Bapak Bangsa ini mengutip penyair Jerman, Schiller, ”Zamannya zaman besar, sayang manusianya kerdil”.
Dalam suasana masih memperingati Hari Kemerdekaan, atlet Indonesia akan berlaga di kancah Asian Games. Kita mendukung sepenuh hati agar keinginan untuk menjadi 10 besar di arena paling akbar di Asia ini tercapai sehingga mimpi untuk menjadi tuan rumah pesta Olimpiade suatu hari nanti bisa terwujud.
Olahraga hendaknya kita jadikan salah satu pintu masuk untuk menjadi bangsa yang berorientasi pada prestasi, fairness, dan kesamaptaan raga. Sikap fair ini pula yang kita harapkan akan muncul dalam penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden.
Kita berharap satelit sentinel (penjaga) yang memantau Indonesia di angkasa tak lagi melihat mendung menutup Tanah Air dan hiruk-pikuk di rakyatnya. Yang ia amati adalah bangsa yang ”bangun jiwanya dan bangun badannya” untuk kejayaan Ibu Pertiwi. Post nubila, jubila… Setelah mendung ada sukacita!
Harapan itu tidak mengada-ada karena Indonesia sudah ada di peron stasiun di mana kereta peradaban (baru) segera tiba dan bergegas berangkat. Guncangan dan badai yang diwadahi dalam jargon disrupsi kini melanda berbagai bidang. Kecerdasan buatan yang jadi pilar utama teknologi industri 4.0, ditambah internet of things, big data, yang kian mewarnai peradaban kini dan masa depan, tak ayal akan diramaikan dengan perang siber. Semua itu menuntut tersedianya orang muda yang cerdas, tetapi tetap berjiwa nasionalis untuk menjadi kesatria siber, sebagai data scientist dan ahli dalam cyber security.
Itulah refleksi yang bisa kita tuangkan saat kita menyongsong HUT Ke-73 RI. Puji dan syukur kita panjatkan kepada Sang Maha Kuasa yang telah mengaruniai berkat bagi perjalanan Republik selama 73 tahun. Dalam kekurangan, Republik tetap tegak berdiri. Dirgahayu Republik Indonesia.