JAKARTA, KOMPAS--Perbaikan kinerja ekspor dan impor perlu dipercepat agar defisit neraca perdagangan tidak berlanjut hingga akhir tahun. Defisit neraca minyak dan gas bumi perlu mendapat perhatian utama karena menyebabkan defisit neraca perdagangan semakin dalam.
Di sisi lain, surplus neraca nonmigas perlu ditingkatkan. Sebab, surplusnya berkurang akibat impor nonmigas yang naik signifikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Januari-Juli 2018 defisit 3,09 miliar dollar AS. Neraca bulanan hanya dua kali surplus, yakni pada Maret dan Juni.
Pada Juli 2018, defisit neraca perdagangan Indonesia 2,03 miliar dollar AS. Nilai ekspor pada Juli 2018 tumbuh 25,16 persen dibandingkan Juni 2018, menjadi 16,24 miliar dollar AS. Adapun nilai impor melonjak 62,17 persen dibandingkan Juni 2018 menjadi 18,27 miliar dollar AS.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (15/8/2018), kenaikan impor migas terjadi karena kenaikan harga minyak mentah dunia dan peningkatan permintaan domestik pada periode Lebaran dan libur panjang. Adapun impor nonmigas meningkat karena kenaikan permintaan domestik dan investasi proyek-proyek strategis.
"Kami berharap program peningkatan ekspor, substitusi impor dengan produk dalam negeri, mandatori B20, dan pengenaan pajak impor 7,5 persen yang digulirkan pemerintah dapat cepat direalisasikan," ujarnya.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, lonjakan impor pada Juli dipicu libur panjang pasca Lebaran sehingga aktivitas perdagangan kurang optimal. Impor Mei-Juni merosot 38 persen karena hari kerja efektif hanya dua minggu. Akibatnya, pengusaha dan investor mengompensasi impor di bulan Juli.
"Jika dihitung impor langsung dari bulan Mei ke Juli, kenaikan impor hanya 3,5 persen. Kendati neraca perdagangan tetap defisit, pertumbuhan impor sebenarnya melambat," kata Darmin.
Terkait rencana pemerintah menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) impor dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen untuk barang yang memiliki substitusi impor dalam negeri dan bukan termasuk jenis barang yang strategis, Darmin menyampaikan, pemerintah sedang menyusun daftar utamanya. Kebijakan jangka pendek dipastikan berjalan tahun ini, yakni penerapan pencampuran 20 persen biodiesel ke satu liter solar atau mandatori B20 pada 1 September 2018 dan perbaikan infrastruktur minor di daerah potensi wisata. Adapun jangka panjang dengan pengetatan tingkat komponen dalam negeri dan pajak impor infrastruktur.
Dampak berganda
Rencana pemerintah menaikkan tarif PPh impor menjadi 7,5 persen untuk barang tertentu dapat memicu dampak ekonomi berganda. Untuk itu, identifikasinya mesti jelas dan detail.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah mesti memastikan barang impor yang dikenakan pajak tetap tersedia di dalam negeri, terutama untuk barang penolong dan bahan baku. Jika tidak, ongkos produksi yang ditanggung pengusaha bisa naik dua kali lipat.
“Penerapan PPh impor jangan tergesa-gesa. Butuh waktu penyesuaian kebijakan dan kesiapan domestik,” katanya.
Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pada Rabu sore menggelar pertemuan yang diikuti sekitar 30 grup usaha pelaku ekspor dan impor terbesar dengan pemerintah. Pertemuan membahas penguatan dan stabilisasi nilai tukar rupiah. "Kami mengapresiasi karena pemerintah sangat responsif terhadap keadaan sekarang yang membutuhkan sinergi bersama," kata Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Perkasa Roeslani.
Terkait kebijakan PPh impor, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono meminta agar ada prioritas dalam menaikkan tarif PPh impor. "Peningkatan tarif pajak impor sebaiknya dimulai dari produk jadi, baru menyusul kategori lainnya," ujarnya. (HEN/KRN/CAS)