JAKARTA, KOMPAS —Pemenuhan gizi bayi melalui pemberian air susu ibu secara eksklusif bisa mencegah stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronis. Sinergi lintas sektor diperlukan agar bayi mendapat ASI sampai berusia dua tahun.
Ketua Sentra Laktasi Indonesia Wiyarni Pambudi di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Rabu (15/8/2018), mengatakan, ada tiga penyebab stunting, yakni ibu mengalami gizi kurang, pemberian makan bayi tak akurat, dan infeksi pada 1.000 hari pertama kehidupan. Itu mengakibatkan anak berisiko memiliki kekebalan tubuh lemah, diabetes, hingga kematian.
Hal itu bisa diantisipasi sejak 1.000 hari pertama kehidupan anak dengan pemberian ASI eksklusif, yakni pemberian ASI tanpa tambahan makanan dan minuman lain kepada bayi berusia 0-6 bulan. ”ASI eksklusif menurunkan risiko 15,1 kali kematian akibat paru-paru basah dan 10,5 kali risiko kematian akibat diare,” katanya.
ASI eksklusif menurunkan risiko 15,1 kali kematian akibat paru-paru basah dan 10,5 kali risiko kematian akibat diare.
Namun, pemahaman warga terkait pentingnya ASI eksklusif tak merata karena, antara lain, kinerja konselor belum maksimal. Konselor ialah penyuluh bagi ibu baru melahirkan dan ada di tiap puskesmas.
Jumlah konselor di Indonesia 10.000 orang. Namun, rangkap jabatan jadi kendala pendampingan ibu baru melahirkan. ”Konselor punya pekerjaan lain, misalnya petugas gizi atau dokter. Padahal, konseling tak bisa sebentar,” kata Wiyarni.
Idealnya, seorang ibu melakukan konseling tujuh kali. Pertemuan 1 dan dua dilakukan saat usia hamil enam bulan untuk transfer pengetahuan tentang pentingnya ASI. Pertemuan ketiga dilakukan saat bayi lahir untuk pendampingan inisiasi menyusui dini atau IMD. Pertemuan keempat dilakukan sebelum orangtua dan bayi meninggalkan rumah sakit untuk memastikan ibu sudah mengerti kebutuhan ASI bayi.
Pertemuan keempat sampai ketujuh dilakukan ketika orangtua melakukan kontrol bayi ke rumah sakit. Hal itu dilakukan agar pertumbuhan bayi bisa dikontrol oleh konselor. Jika ada masalah, konselor bisa memberi bimbingan kepada orangtua.
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan Doddy Izwardi, mengatakan, hal itu menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya pemberian ASI eksklusif. "Angka IMD di Yogyakarta tinggi karena punya Perda tentang ASI," ujarnya.
Hal itu mengakibatkan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui (LMKM) tidak terlaksana di sebagian rumah sakit dan puskesmas. Padahal, 10 LMKM menjadi panduan berbasis bukti ilmiah bagi fasilitas kesehatan untuk menjamin bayi mendapatkan ASI eksklusif saat dilahirkan, selama di rumah sakit, dan setelah pulang ke rumah.
Hal itu mengakibatkan pemantauan bayi baru lahir tak berjalan baik. Hal tersebut membuat fasilitas pelayanan kesehatan di beberapa daerah tidak memiliki catatan hasil monitoring terhadap bayi baru lahir. "Hal itu membuat hasil capaian ASI eksklusif tidak tercatat," kata Doddy.
Di tempat terpisah, dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Brawijaya, Margaretha Komalasari, menyatakan, asupan nutrisi dan stimulasi bagi anak mesti diperhatikan sejak di kandungan. Masa dua tahun setelah kelahiran perlu diperhatikan mengingat periode itu otak berkembang 80 persen.
Pada masa ini, juga terjadi pembentukan organ vital, perkembangan kognitif, pematangan sistem pencernaan, dan pematangan sistem imun. “Bila periode ini mengalami interupsi atau gangguan, dapat menyebabkan masalah yang sifatnya permanen (irreversible). Kekurangan asupan nutrisi, misalnya, bisa menyebabkan anak terkena stunting,” kata Margaretha.