Jadi Tim Sukses atau Caleg, Wartawan Harus Cuti atau Mundur
JAKARTA, KOMPAS – Memasuki tahun politik, seluruh wartawan di Indonesia kembali diingatkan untuk tetap mempertahankan independensi newsroom mereka. Karena itu, wartawan yang terlibat dalam tim pemenangan calon presiden/calon wakil presiden atau calon legislatif harus cuti atau mengundurkan diri.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pekan depan Dewan Pers akan mengeluarkan seruan kepada seluruh wartawan yang menjadi tim sukses atau memutuskan diri menjadi calong legislatif (caleg) agar cuti atau mengundurkan diri.
“Kami akan mengingatkan kembali kepada mereka bahwa media bekerja untuk kepentingan publik, bukan partai politik tertentu. Kalau mau terjun ke politik, sebaiknya cuti sementara atau mundur saja karena prosesnya panjang sampai lima tahun ke depan,” ucap Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo yang biasa dipanggil Stanley tersebut, Rabu (15/8/2018), di Jakarta.
Kalau mau terjun ke politik, sebaiknya cuti sementara atau mundur saja karena prosesnya panjang sampai lima tahun ke depan.
Stanley mengapresiasi beberapa wartawan yang akhirnya memutuskan diri untuk mundur dari pekerjaannya sebagai jurnalis karena mencalonkan diri sebagai caleg partai tertentu atau terlibat sebagai tim sukses pasangan calon presiden/wapres tertentu. Diharapkan, wartawan-wartawan lain yang ingin terjun ke politik berani mengambil konsekuensi serupa dan tidak main di “dua kaki” baik di media maupun politik.
Semakin dipertaruhkan
Independensi media di tengah tahun politik saat ini semakin dipertaruhkan karena banyak pemilik media besar yang juga menjadi pimpinan partai politik tertentu. Karena itu, tugas dari semua wartawan adalah mempertahankan independensi newsroom mereka meskipun pemilik medianya adalah pemimpin parpol.
Tugas dari semua wartawan adalah mempertahankan independensi newsroom mereka meskipun pemilik medianya adalah pemimpin parpol.
“Jangan sampai hanya karena ada kepentingan parpol, mereka mengorbankan obyektivitas dan melanggar kode etik jurnalistik dengan mengikuti kemauan pemilik media. Jika mereka melakukannya berkali-kali, berarti memang ada niat buruk di dalamnya dan ini bisa diarahkan penanganannya kepada aparat penegak hukum karena bukan lagi menjadi urusan dewan pers,” tambahnya.
Di luar itu, Stanley juga mengingatkan kepada seluruh media untuk berhati-hati menggunakan jejaring media sosial sebagai sumber berita dan mengutip lembaga survei. Kewaspadaan ini penting karena menjelang pemilihan umum banyak bermunculan lembaga survei yang tidak jelas kredibilitasnya dan cenderung berupaya membentuk opini publik.
Menurut Stanley, media harus berhati-hati menggunakan sumber-sumber informasi dari media sosial. Informasi-informasi dari media sosial bisa digunakan sebagai informasi awal, akan tetapi untuk bisa dijadikan sebagai berita, maka seluruh informasi tersebut harus diklarifikasi dan diverifikasi terlebih dulu. Tanpa proses itu, maka informasi dari media sosial hanyalah informasi belaka dan bukan berita yang kredibel.
“Pengalaman buruk pilpres 2014 sebaiknya jangan terulang. Empat tahun lalu, banyak media yang berubah menjadi media-media agitatif dan provokatif,” kata dia.
Melihat perkembangan atmosfir politik akhir-akhir ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menyerukan sejumlah pernyataan sikap. Senada dengan Ketua Dewan Pers, AJI juga mendesak agar wartawan dan media harus berusaha mendahulukan kepentingan publik dari yang lainnya.
Wartawan dan media harus berusaha mendahulukan kepentingan publik dari yang lainnya.
“Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menyatakan, ‘Wartawan Indonesia bersikap independen…’. Sikap ini antara lain harus ditunjukkan dengan menjadikan pertimbangan ‘apakah ini penting dan baik bagi publik’ sebagai alasan utama untuk meliput atau tidak meliput sebuah peristiwa terkait pemilihan presiden. Meski tak menutup mata bahwa media merupakan lembaga bisnis yang harus mendapatkan keuntungan ekonomi, tapi itu hendaknya tidak menjadi pertimbangan utama atau satu-satunya dalam memilih tema yang akan diliput,” kata Ketua Umum AJI, Abdul Manan.
Menurut Manan, dalam situasi apapun wartawan harus berusaha maksimal untuk menjaga independensinya. Contoh konkretnya, dalam memanfaatkan kebebasan berekspresi di media sosial, wartawan mesti berhati-hati agar tidak mempengaruhi independensinya. Sebab, ekspresi wartawan di depan publik (termasuk media sosial) tentang calon tertentu akan membuat independensinya menjadi tanda tanya dan itu bisa menyulitkan wartawan dalam menjalankan profesinya.
Ekspresi wartawan di depan publik (termasuk media sosial) tentang calon tertentu akan membuat independensinya menjadi tanda tanya dan itu bisa menyulitkan wartawan dalam menjalankan profesinya.
AJI juga menegaskan bahwa wartawan tidak boleh menjadi tim sukses partai atau calon presiden, baik resmi atau tidak resmi. Sebab, menjadi tim sukses dipastikan akan membuatnya tidak bisa bersikap independen.
Sikap independensi inilah yang akan menentukan profesionalitas wartawan dan media. Seperti disebutkan dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dari tiga fungsi utama media, dua di antaranya adalah memberikan “pendidikan” dan menjalankan “fungsi kontrol sosial”. Karena itulah, dalam konteks pilpres dan pileg yang mulai bergulir prosesnya tahun ini, proses-proses peliputan harus mengacu pada dua fungsi tersebut.
“Hal itu bisa dilakukan antara lain dengan membuat liputan yang fokus pada pengungkapan rekam jejak calon, konsistensi sikap calon terhadap isu-isu penting, dan kredibilitasnya saat menjalankan fungsi pelayanan publik,” tambah Manan.
Sementara itu, Ketua Bidang Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Sasongko Tedjo menambahkan, di internal organisasi, PWI menyerukan kepada seluruh anggotanya untuk wajib non aktif bagi wartawan yang akan mengikuti kontestasi politik maupun menjadi tim sukses. Seruan ini juga disampaikan PWI kepada seluruh anggotanya menjelang pemilihan kepala daerah serentak bulan Juni lalu.