YOGYAKARTA, KOMPAS — Kebebasan pers masih menjadi pekerjaan rumah untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Terjadinya kekerasan terhadap wartawan dan adanya kasus pembunuhan wartawan yang tak terungkap selama bertahun-tahun dapat menjadi cerminan dari kebebasan pers.
Salah satu kasus yang tak kunjung terungkap adalah terbunuhnya wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau yang lebih dikenal dengan nama Udin. Ia meninggal karena tindak penganiayaan pada 16 Agustus 1996.
”Ini menunjukkan tentang kurangnya kebebasan pers. Ketika kasus ini tidak tuntas, ini menjadi sebuah preseden buruk. Ada hal yang tampak membatasi wartawan untuk memberitakan hal-hal tertentu,” kata Narayana Mahendra, pengajar di Program Studi Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia (UII), dalam Diskusi Publik 22 Tahun Kasus Udin di Yogyakarta, Kamis (16/8/2018).
Pada 2017, menurut laporan Dewan Pers, DIY menduduki peringkat ke-18 dari 30 provinsi terkait indeks kebebasan pers. Skor 68,10 poin itu masih di bawah rata-rata nasional, 68,95 poin.
”Angka tersebut menempatkan Yogyakarta di kategori yang kurang menggembirakan,” kata Narayana.
Sementara itu, terkait dengan kasus wartawan Udin, staf Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII, Tri Guntur Narwaya, mengungkapkan, pendekatan hukum tidak cukup untuk mendorong agar kasus ini bisa terungkap. Masyarakat harus ikut digerakkan agar upaya tidak hanya berhenti pada pernyataan sikap saja mengingat adanya desakan publik guna mengungkap kasus tersebut.
”Proses penguatan dan konsolidasi harusnya diletakkan dalam kelembagaan di masyarakat. Tidak hanya dalam AJI (Aliansi Jurnalis Independen),” kata Guntur. ”Dibungkamnya jurnalis berarti dibungkamnya informasi publik untuk rakyat. Jika gerakan berhenti dari kalangan pegiat saja, gerakan ini hanya akan berada pada fase peringatan atau pernyataan sikap dorongan pengungkapan kasus.”
Terkait hal itu, Majelis Etik AJI Yogyakarta Bambang Muryanto mengungkapkan, pihak AJI telah melakukan berbagai hal untuk mendorong pengungkapan kasus itu. Hampir semua lembaga negara telah diketuk pintunya untuk memberikan perhatian, tetapi memang belum mendapatkan hasil.
Bambang menyampaikan, saat ini AJI tengah mengusahakan agar Udin mendapatkan Guillermo Cano World Press Prize dari UNESCO pada tahun 2019. Penghargaan tersebut diberikan kepada seseorang, organisasi, atau lembaga yang berkontribusi menyuarakan kebebasan berpendapat, terutama yang hingga menghadapi situasi berbahaya.
Menurut Bambang, jika cerita mengenai Udin sudah disimak oleh publik internasional, hal itu akan menjadi catatan tersendiri bagi berlangsungnya kebebasan pers di Indonesia. Terdapat proses yang begitu panjang untuk menindaklanjuti kasus terbunuhnya Udin.
Anang Hermawan, pengajar dari Prodi Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII, mengatakan, terkekangnya kebebasan pers itu menghilangkan hak dasar manusia untuk berkomunikasi dan menyampaikan informasi. Hilangnya kebebasan pers sama halnya dengan menumpulkan ketajaman berpikir masyarakat.
Anang beranggapan, kini hanya ada sedikit media yang melakukan peliputan-peliputan investigatif dan mendalam. Menurut dia, tulisan dari peliputan seperti itu mampu memberikan pengaruh, yaitu sebagai kontrol sosial dan edukasi bagi masyarakat.
”Media itu memberikan pengaruh. Kelayakan suatu berita ini harus jadi nilai kita bersama,” kata Anang.