JAKARTA, KOMPAS - Otoritas Jasa Keuangan segera memberlakukan insentif bagi pengembang perumahan berupa kredit pembelian lahan pembangunan rumah. Dukungan kebijakan ini diyakini dapat optimal dalam menggenjot pertumbuhan sektor properti.
Sebelumnya, Bank Indonesia menelurkan kebijakan relaksasi rasio pinjaman terhadap aset atau loan to value atau LTV , untuk memberi ruang lebih luas kepada pengembang dan perbankan untuk memasarkan produknya.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, mengatakan agar semakin optimal dalam mendorong perekonomian nasional, kebijakan makroprudensial dari Bank Indonesia (BI) perlu sokongan kebijakan lain.
“Insentif kredit lahan ditujukan untuk meningkatkan suplai seiring dengan meningkatnya kebutuhan perumahan. Seluruh paket kebijakan OJK akan segera berlaku Agustus ini,” kata Wimboh di Jakarta, Rabu (15/8/2018).
Kebijakan ini, lanjut Wimboh, bertujuan agar para pengembang perumahan, khususnya dengan modal skala kecil, lebih antusias untuk memenuhi kebutuhan rumah. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat kebutuhan rumah hingga pada April 2018 ada sebesar 11,6 juta unit rumah. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dari kebutuhan 2007 sebesar 5,8 juta unit rumah.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristyana mengatakan, kebijakan ini memberi insentif bagi pengembang perumahan untuk mendapat fasilitas cicilan pembayaran lahan, baik dari perbankan syariah dan konvensional.
“Saat ini pembelian tanah tidak bisa kredit. Tapi nanti selama pembelian lahan diperuntukan pembangunan rumah dibolehkan kredit. Asalkan pembangunan rumah dilakukan setahun setelah permohonan kredit diterima,” ujar Heru.
Penyesuaian aktiva
Meski kebutuhan rumah meningkat, kata Heru, penyaluran kredit properti mengalami stagnansi dalam tiga tahun terakhir. Pada Mei 2018, portofolio kredit pemilikan rumah dan kredit pemilikan apartemen mencapai Rp 428,7 triliun atau hanya bertumbuh 8,8 persen.
Salah satu poin kebijakan properti BI untuk meningkatkan penyaluran kredit properti adalah membebaskan rasio pinjaman terhadap aset atau LTV dari semua tipe rumah pertama.
Rasio LTV menunjukkan perbandingan antara kemampuan bank dalam menyalurkan kredit dan kemampuan nasabah dalam memiliki rumah. Relaksasi LTV yang efektif berlaku mulai 1 Agustus 2018 itu diharapkan menjadi insentif bagi bank, pengembang, maupun debitur.
OJK menyokong aturan LTV lewat kebijakan penyesuaian aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). ATMR adalah cadangan modal yang harus disediakan bank usai penyaluran LTV.
Awalnya ATMR untuk KPR, baik bank konvensional maupun syariah, adalah 35 persen. Lewat kebijakan ini, rasio LTV di bawah 50 persen akan dikenakan bobot ATMR sebesar 20 persen. Sementara rasio LTV antara 50-70 persen akan terkena bobot ATMR sebesar 25 persen. Adapun rasio LTV di atas 70 persen, akan dikenakan ATMR sebesar 35 persen.
Dengan penurunan ATMR, cadangan kerugian penurunan nilai yang harus dibentuk bank juga menjadi lebih kecil. Bank bisa menggunakan modal untuk mendorong ekspansi.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makropudensial BI, Filianingsih Hendarta menjelaskan, paket kebijakan properti OJK ini bentuk upaya saling dukung antarregulator. “Ketentuan OJK dan BI akan saling melengkapi dan semuanya bertujuan memanfaatkan momentum mendorong kredit properti,” ujarnya.
Sekretaris Himpunan Bank-Bank Milik Negara, Budi Satria menilai kebijakan itu bisa meningkatkan pertumbuhan kredit konstruksi. Selain itu, kebijakan penyesuaian ATMR juga bisa berdampak pada peningkatan pasokan rumah yang diharapkan bisa memacu pertumbuhan kredit secara keseluruhan.
"Jadi tidak hanya dari sisi permintaan, sisi pasokan juga terjaga. Kalau kredit konstruksi naik, itu nanti juga berdampak pada KPR," katanya .