JAKARTA, KOMPAS – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai penegakan hukum atas korporasi pelaku kebakaran hutan dan lahan belum memuaskan. Mereka menagih keseriusan pemerintah tak berkutat pada teknis pembasahan di lapangan, tetapi juga menjadikan penegakan hukum sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya restorasi.
Di sisi lain, pemerintah beralasan sejak kebakaran hutan dan lahan hebat di tahun 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan 163 sanksi administratif, 12 sanksi perdata, dan 35 kasus pidana. KLHK mengedepankan sanksi administratif karena relatif mudah diterapkan karena kewenangan murni kementerian (tanpa campur tangan polisi, jaksa, dan hakim). Sanksi ini pun dinilai membawa kepatuhan perusahaan karena bisa berujung pencabutan izin lingkungan/izin usaha.
Dari sisi hasil, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan area kebakaran hutan dan lahan saat ini (periode Januari – Agustus 2018), sebagian besar berada di luar konsesi, baik kebun maupun hutan. Mengutip data LAPAN (kepercayaan di atas 80 persen), pada periode ini ditemukan titik panas sebanyak 1.639 titik. Dari jumlah itu, sebanyak 1.308 titik panas berada di tanah mineral dan 213 titik di gambut berfungsi lindung dan 118 titik di gambut berfungsi budidaya.
Namun temuan di lapangan oleh jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menunjukkan temuan berbeda.Mereka menemukan kebakaran di korporasi masih terjadi. Bahkan di Riau, area kebakaran terjadi pada korporasi yang telah dikenal “nakal” karena sempat tersandung kasus pembalakan liar dan kebakaran lahan tetapi mendapatkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
“Jika penegakan hukum tidak tegas, titik api juga masih terjadi di situ,” kata Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau, Rabu (15/8/2018) di Jakarta dalam diskusi yang digelar Eksekutif Nasional Walhi. Diskusi tersebut menghadirkan Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan MR Karliansyah, dan Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati, serta perwakilan Walhi Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Anton Wijaya menambahkan sepanjang periode Januari-Agustus 2018 ini terdapat 221 titik api di konsesi gambut. Dari jumlah ini 2 titik berada di izin kehutanan hutan alam, 69 izin kehutanan hutan tanaman industri, dan 102 di perkebunan sawit.
MR Karliansyah mengatakan data ini dari koordinat. Dari sisi luasan, pada periode ini terdapat 12.175 ha area terbakar atau jauh dibandingkan tahun 2015 yang mencapai lebih dari 2 juta ha.
Ia pun mengatakan saat ini sejumlah 31 pemegang izin kehutanan HTI dan 39 pemegang hak guna usaha (perkebunan) menyelesaikan dokumen rencana pemulihan gambut. Sedangkan pemasangan titik penaatan telah dikerjakan di 80 perusahaan perkebunan dan 14 perusahaan HTI.
Karliansyah mengatakan pihaknya dalam waktu dekat akan mengevaluasi hal-hal ini di lapangan. “Kita nanti lihat apa bisa memenuhi 0,4 meter (tinggi muka air tanah sebagai syarat terjadinya kerusakan gambut),” kata dia.
Area restorasi terbakar
Di sisi lain, Walhi daerah juga menunjukkan area prioritas restorasi di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, dan Riau masih terbakar. Terkait hal ini, Kepala BRG Nazir Foead mengakuinya.
Ia menjelaskan kebakaran di area prioritas terjadi di permukaan yang kering karena evaporasi. Bagian dalam bawah gambut tidak turut terbakar karena telah dilakukan pemasnagan sekat kanal. “Ketika terjadi kebakaran di permukaan, pemadaman lebih mudah karena api tak merambat ke bawah,” kata dia.
Nazir pun mengakui restorasi terkesan lamban karena pihaknya mengedepankan partisipasi masyarakat sekitar dalam proyek penyekatan kanal. Ini untuk meningkatkan rasa memiliki masyarakat.
“Kalau mau mudah pilih lelang lalu kontraktor mengerjakan, selesai. Tapi kan tidak begitu, masyarakat harus kita ajak dan menjadi bagian dari restorasi,” kata dia. Karena memilih cara ini, pihaknya menghadapi berbagai kendala nonteknis seperti aturan birokrasi dan administrasi keuangan.
Nazir pun mengatakan pekerjaan restorasi belum bisa tampak hasilnya hanya dalam kurun waktu setahun. Apalagi pada lahan gambut yang telanjur rusak parah akibat terbakar. Kondisi ini membuat gambut yang memiliki sifat menyimpan air pun berkurang kapasitasnya dalam penyimpanan air. Jadi ketika tiba musim kemarau atau hari tanpa hujan yang panjang, gambut berangsur-angsur mengering karena penguapan.