Bisnis Prostitusi Daring Makin Mengkhawatirkan
JAKARTA, KOMPAS - Seperti koin, perkembangan teknologi kerap memiliki dua sisi, baik atau buruk. Selain memudahkan kita dalam memperoleh informasi, penyalahgunaan teknologi juga masih kerap terjadi, terutama dalam bisnis prostitusi.
Maraknya prostitusi dalam jaringan atau daring semakin mengkhawatirkan. Dari data yang dihimpun sejak awal tahun, setidaknya 33 perempuan dilacurkan di Jakarta, Tangerang, dan Depok. Tempat bisnis ini berjalan pun cenderung seragam, yakni di apartemen.
Rabu (15/8/2018) kemarin, Satuan Reserse Kriminal Polrestro Kota Depok, mengungkap prostitusi daring di Apartemen Margonda Residence 2, Depok, Jawa Barat. Dari hasil itu, polisi menyebutkan bahwa media sosial menjadi medium bisnis tersebut.
"Mereka terhubung melalui aplikasi WeChat," kata Kasat Reskrim Polres Kota Depok, Komisaris Polisi Bintoro dalam keterangan tertulis. Adapun bukti yang ditemukan dalam penangkapan itu berupa alat kontrasepsi, uang tunai, dan sejumlah gawai.
Masih pada bulan yang sama, tepatnya pada Rabu (8/8/2018), Polda Metro Jaya mengungkap prostitusi daring di sebuah apartemen di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Lagi-lagi, media sosial seperti beetalk dan WeChat, menjadi wadah komunikasi antara pelanggan dengan muncikari.
Dari dua kasus tersebut, harga yang dipatok dalam bisnis itu berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 1 juta. Sementara, para muncikari yang ditangkap di Kalibata, dijerat pasal 296 dan 506 KUHP dengan tuduhan menyediakan fasilitas untuk perbuatan cabul. Berdasarkan ketentuan tersebut, tersangka terancam hukuman kurungan 1 tahun 4 bulan.
Anak yang Dilacurkan
Kejahatan seks daring terus berkembang dan menyasar anak-anak. Dari pengungkapan prostitusi di Apartemen Kalibata City contohnya, ada lima anak usia 16-18 tahun yang menjadi korban kejahatan seksual.
Publikasi End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purpose (ECPAT) pada 2017 menyebutkan, analisis terkait prostitusi pada 1998 menduga prevalensi pelacuran seseorang di bawah 18 tahun di Indonesia mencapai 30 persen. Artinya, bisnis prostitusi masih menyasar anak-anak dan terus berkembang seiring kemajuan teknologi.
Organisasi internasional seperti Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (Unicef) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batas usia anak adalah 18 tahun. Selain itu, Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) No 138/1973 yang sudah diratifikasi melalui UU No 20/1999 mengenai Batasan Usia Minimum untuk Bekerja, melarang anak bekerja di bawah usia 18 tahun (Kompas, 25/10/2001).
Sementara itu, data Interpol dalam Trafficking in Human Beings menyebutkan, perdagangan perempuan untuk eksploitasi seksual masuk dalam kategori perdagangan manusia. Adapun praktik anak yang dilacurkan merupakan salah satu bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Sementara pada dasarnya, anak dalam fenomena ini cenderung tidak bisa membuat keputusan untuk memilih prostitusi sebagai profesinya.
Psikolog Forensik Komisaris Besar Arif Nurcahyo mengatakan, stigma yang tumbuh di masyarakat Indonesia masih berorientasi kepada korban prostitusi. Akibatnya, korban mengalami dampak ganda secara psikologis, baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari lingkungan tempat tinggal.
Arif mengatakan, praktik-praktik diskriminasi tak hanya terjadi di masyarakat, tetapi juga terjadi di lingkungan pendidikan. "Mari bicara dari level pendidikan. Biasanya, anak perempuan yang hamil di luar nikah, pasti akan dikeluarkan dari pihak sekolah, ini kan tidak benar," kata Arif.
Arif menjelaskan, anak perempuan yang mengalami hamil di luar nikah akan mengalami tekanan dari lingkungan sosial. Dalam kondisi tersebut, para pelaku perdagangan anak dapat dengan mudah menghasut mereka supaya terjun ke lingkungan prostitusi.
Anak perempuan yang mengalami hamil di luar nikah akan mengalami tekanan dari lingkungan sosial. Dalam kondisi tersebut, para pelaku perdagangan anak dapat dengan mudah menghasut mereka supaya terjun ke lingkungan prostitusi.
Terkait hal itu, data ECPAT menunjukkan, jaringan kriminal yang mengorganisir industri seks dan merekrut anak-anak menjadi faktor penarik prostitusi anak. Sementara, ketidaksetaraan jender dan praktik-praktik diskriminasi menjadi salah satu faktor pendorongnya.
Selain itu, dampak yang ditimbulkan terhadap korban prostitusi anak pun beragam, mulai dari penyakit menular, rentan mengalami kekerasan, hingga HIV/AIDS. Secara psikologis, anak yang dilacurkan juga cenderung berada dalam kondisi dilecehkan sekaligus direndahkan.
Peran segala pihak
Arif mengatakan, permasalahan prostitusi anak secara daring ini perlu diselesaikan dari hulu ke hilir. Menurutnya, hal ini bisa dimulai dari lingkungan keluarga.
"Bagaimanapun keluarga merupakan komunitas pertama dan utama. Untuk itu, komunikasi antara orang tua dan anak, harus dibangun berdasarkan subjek kepada subjek, bukan subjek kepada objek, sehingga relasi antara keduanya dapat terjalin," kata Arif.
Seperti yang diberitakan Kompas (6/1/2013), pada masa kini, teman sebaya dan teknologi media sangat berpengaruh terhadap kehidupan remaja. Untuk itu, orang tua tidak cukup menjadi tokoh otoritas saja, melainkan mampu menjadi teman terpecaya dari anak.
KPAI mendorong peran masyarakat di sekitar lokasi prostitusi agar prostitusi yang melibatkan anak tidak meluas.
Selain itu, tambah Arif, sekolah memiliki peran penting dalam mentransformasikan nilai-nilai moral terhadap anak. Sehingga, peran sekolah tak hanya sebagai berbagi ilmu pengetahuan, tetapi turut membangun karakter anak sesuai dengan moral-moral yang berlaku di masyarakat.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi, Ai Maryati Sholihah, mengatakan, akan melibatkan sejumlah lembaga sosial guna mengawasi praktik prostitusi anak secara daring. Selain itu, KPAI juga mendorong peran masyarakat di sekitar lokasi prostitusi agar prostitusi yang melibatkan anak tidak meluas. (DIONISIO DAMARA)