JAKARTA, KOMPAS – Keterlibatan perempuan dalam penyelesaian konflik agraria di Indonesia masih belum diperhitungkan. Padahal, perempuan menjadi pihak yang terdampak oleh konflik dan memiliki kapasitas untuk terlibat. Oleh sebab itu, lingkungan yang kondusif dibutuhkan agar perempuan dapat terlibat dalam penyelesaian konflik itu.
“Di negara yang terbentuk oleh adat dan tradisi ini, perempuan sangat terdiskriminasi dalam segala hal karena patriarki,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, Rabu (15/8/2018), dalam diskusi publik yang diadakan KPP-PA di Jakarta. “Padahal menurut HAM, semua perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki,” lanjutnya.
Staf Departemen Penguatan Organisasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Ferry Widodo mengatakan, konflik agraria terjadi karea beberapa hal, antara lain pemberian izin atau hak oleh pejabat publik, penggusuran sekelompok warga secara paksa, hingga ada perlawanan langsung dari kelompok masyarakat. “ Ada penggunaan kekerasan, manipulasi, dan kriminalisasi dalam pengadaan tanah,” ujarnya.
Ada penggunaan kekerasan, manipulasi, dan kriminalisasi dalam pengadaan tanah.
Mengutip data KPA, 592 orang tercatat menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi itu, dan 72 korban di antaranya adalah perempuan. Di sisi lain, menurut data dari Kantor Staf Presiden, ada 23.384 orang dan 96.983 kepala keluarga yang menjadi korban konflik agraria.
Penguatan keterlibatan perempuan dalam penyelesaian konflik agraria harus mulai dilakukan. Pasalnya, perempuan merupakan pihak yang paling sering mengakses sumber daya agraria, tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keluarga dan komunitasnya. Namun, perempuan acap kali tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik tersebut.
“Sumber daya agraria berkenaan dengan politik perempuan. Maksudnya, dalam konteks pengelolaan sumber daya agraria, perempuan memiliki posisi tawar,” kata Ketua Badan Eksekutif Nasional Organisasi Solidaritas Pangan, Puspa Dewy.
Meski perempuan memiliki posisi tawar, hal itu belum disadari secara kolektif oleh masyarakat. Hak perempuan untuk berpendapat mengenai konflik ini pun sering diabaikan. Hal ini menghilangkan kedaulatan perempuan dalam mengelola sumber daya agraria.
“Posisi tawar perempuan masih belum signifikan. Contohnya, di satu desa di Poso, 90 persen sertifikat tanahnya didaftarkan atas nama laki-laki, bukan perempuan,” kata Puspa.
Peran perempuan dalam penyelesaian konflik patut diperhitungkan. Alasannya, perempuan juga menerima dampak langsung dari konflik, seperti dampak pada kesehatan akibat sumber air yang tercemar, hingga pada pekerjaan domestik. Hal ini menjadi penting karena perempuan pada umumnya menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam mengelola kelangsungan hidup diri dan keluarganya.
Perempuan pun dinilai memiliki kapabilitas untuk menghadapi dan menyelesaikan suatu konflik, khususnya konflik agraria. Sejumlah perempuan di Aceh dan Sumatera Selatan pernah menjadi garda terdepan dalam masa konflik agraria, yaitu dengan mengerjakan pekerjaan domestik hingga melindungi keluarganya saat para laki-laki tidak dapat keluar rumah.
“Perempuan itu punya visi jauh ke depan karena dia memikirkan anak dan keluarganya. Perempuan harus dilibatkan menjadi pelaku utama dalam penyelesaian konflik,” kata peneliti Sajogyo Institute Siti Maemunah.
Dukungan keluarga
Siti menegaskan, perempuan harus diberi ruang untuk ikut bagian dalam memperjuangkan sumber daya agraria pada suatu konflik. Aksi afirmatif ini harus dilakukan karena perempuan memiliki tantangan berlapis sebelum dapat keluar dan turut dalam penyelesaian konflik.
“Perempuan harus memikirkan anak, keluarga, dan banyak hal lain sebelum dia dapat terlibat. Maka, dukungan keluarga sangat diperlukan,” kata Siti.
Hal itu terjadi pada Gunarti, warga Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah yang sedang menghadapi konflik agraria dengan suatu pabrik semen. Ia mengatakan, dukungan keluargalah yang membuatnya dapat memperjuangkan sumber daya agraria yang ingin diambil alih.
“Kalau suami saya tidak mengizinkan, saya tidak mungkin ada di sini sekarang. Dukungan keluarga sangat penting,” kata Gunarti.
Menurutnya, sumber daya agraria wajib dijaga kelestariannya. Pasalnya, sumber daya tersebut akan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Selain itu, sumber daya agraria adalah sumber penghidupan bagi semua orang.
Menurut data yang dihimpun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2015 hingga 2017 terjadi 1.361 letusan konflik agraria di Indonesia. Pada 2017, ada 659 konflik agraria yang mencakup 520.491,87 hektar lahan, termasuk 739 desa. Artinya, rata-rata terjadi dua konflik agraria di Indonesia setiap hari.
Konflik itu terjadi di semua provinsi di Indonesia. Namun, lima besar provinsi dengan jumlah konflik terbanyak adalah Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat, Riau, dan Lampung.
“Hingga mei 2018, tercatat ada 334 kasus konflik agraria. Sekitar 80 persennya adalah kasus lama, baik dari zaman Belanda hingga konflik di masa Orde Baru,” kata anggota Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria Kantor Staf Kepresidenan Achmad Yakub. (SEKAR GANDHAWANGI)