Pesatnya pertumbuhan perkebunan di sekitar koridor atau habitat gajah memicu konflik antara gajah dan manusia yang tidak berkesudahan di Lampung. Gajah yang merasa terusik dan kehilangan sumber makanan di hutan berupaya mencari makanan alternatif, antara lain kopi, jagung, dan pisang. Meski korban jiwa terus bertambah, penyelesaian konflik ini masih menghadapi jalan buntu.
Rabu (15/8/2018) dini hari, menjadi hari naas bagi pasangan suami istri Saudah (60) dan Nasrudin (65), warga Kecamatan Semaka, Tanggamus. Mereka diserang saat sedang berada di gubuk di tengah kawasan hutan produksi terbatas di Kecamatan Pemerihan, Pesisir Barat, Lampung. Wilayah itu hanya berjarak sekitar 500 meter dari dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Saudah yang terjebak di dalam gubuk tewas di tempat setelah diserang gajah liar yang diperkirakan berjumlah 12 ekor. Kawanan gajah itu juga menghancurkan gubuk.
Sebelum meninggal, Nasrudin sempat bercerita bahwa kawanan gajah liar tiba-tiba melintas di dekat gubuk yang mereka tempati.
Sementara itu, Nasrudin sempat melarikan diri dan meminta pertolongan kepada keluarganya. Namun, Nasrudin akhirnya meninggal setelah sempat dilarikan ke klinik terdekat. Dia mengalami serangan jantung akibat shock berat atas peristiwa itu.
Sebelum meninggal, Nasrudin sempat bercerita bahwa kawanan gajah liar tiba-tiba melintas di dekat gubuk yang mereka tempati. Mereka sulit meminta pertolongan karena tak ada orang orang lain di sana. Kondisi hutan yang gelap gulita juga menyulitkan korban.
”Peristiwa itu diketahui setelah keluarga korban melapor ke kantor Resort Pemerihan sekitar pukul 02.00 WIB. Tim langsung mendatangi tempat kejadian dan mendapati Ibu Saudah telah tergeletak di tanah,” kata Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Ismanto, saat dihubungi dari Bandar Lampung, Kamis (16/8/2018).
Mereka bukanlah korban pertama konflik antara gajah liar dan manusia di Lampung. Satu bulan sebelumnya, Surip (70), warga Tanggamus, juga tewas terinjak gajah pada Selasa (3/7/2018) dini hari. Saat itu, dia berusaha mengusir gajah dari kebun yang dijaganya di kawasan Hutan Lindung Register 39 Kotaagung Utara, Kecamatan Bandar Negeri Semoung, Tanggamus.
Setelah insiden itu, kata Ismanto, pihaknya meminta warga yang memiliki kebun di kawasan hutan tidak bermukin dan bermalam di dekat kebun. Itu untuk menghindari serangan gajah liar yang banyak beraktivitas dan mencari makan pada malam hari.
Pihaknya juga meminta agar satgas penanganan konflik yang telah dibentuk di beberapa desa tetap melakukan blokade secara bergantian. Warga diminta tidak menghalau gajah seorang diri, tetapi bekerja sama dengan tim untuk menghindari serangan gajah liar.
Menurut Ismanto, memang ada ribuan warga menggantungkan hidup dari berkebun di dalam kawasan sejak puluhan tahun lalu. Petani pendatang yang mayoritas berasal dari Kabupaten Tanggamus, Lampung Barat, dan Pesisir Barat, acap kali bermukim di dalam hutan demi menjaga tanaman kopi, lada, dan jagung. Bahkan, warga membuka lahan di dalam kawasan TNBBS.
Saat acara Peluncuran Niat Bersama untuk Mengatasi Deforestasi akibat Budidaya Kopi di Lanskap TNBBS, beberapa waktu lalu, Kepala Balai Besar TNBBS Agus Wahyudiyono mengatakan, perambahan hutan di TNBBS masih terus berlangsung. Saat ini, lahan hutan seluas 28.273 hektar telah berubah menjadi perkebunan kopi dari total 320.000 hektar luas taman nasional itu. Diperkirakan, ada 11.000 keluarga yang kebunnya berada di dalam kawasan hutan.
Digiring
Kawanan gajah liar itu sebenarnya telah berulang kali digiring ke dalam kawasan TNBBS. Bahkan, tim mahout dari Elephant Respons Unit mendatangkan gajah patroli dari kawasan Taman Nasional Way Kambas untuk membantu menggiring gajah liar. Namun, kawanan gajah liar itu masih kerap keluar untuk mencari makanan, terutama pisang, kopi, dan jagung.
”Kopi, jagung, dan pisang termasuk tanaman yang disukai gajah. Menanam jenis tanaman itu di sekitar habitat gajah berarti mengundang gajah liar datang,” kata Project Leader WWF-Indonesia Regional Sumatera Bagian Selatan Yob Charles.
Saat ini, kata Yob, tim satgas kesulitan mengetahui posisi gajah liar karena alat GPS collars tidak berfungsi optimal. Alat untuk memantau posisi gajah itu tidak dapat memberikan laporan melalui komputer.
Petugas hanya dapat memantau gajah secara manual melalui antena. Jarak pantau dengan antena terbatas hanya 2 kilometer dari lokasi gajah. Itu pun bergantung pada kondisi geografis hutan. Saat tutupan hutan makin lebat dan area hutan berbukit, radius pantau hanya sekitar 0,5 km.
Dia menilai upaya penggiringan dan blokade yang dilakukan tim satgas belum bisa menjadi solusi jangka panjang untuk menyelesaikan konflik antara gajah dan manusia.
Dia menilai penyelesaian konflik membutuhkan keseriusan dari pemerintah pusat dan daerah. Pembentukan Elephant Response Unit atau Conservation Respone Unit diharapkan mampu menyelesaikan konflik dan menjaga habitat gajah.
Selain itu, pemerintah juga semestinya tegas dalam mengatur tata ruang, khususnya di sekitar kawasan hutan. Pasalnya, akar permasalahan konflik itu sebenarnya adalah perebutan ruang penghidupan antara manusia dan gajah. Untuk itu, pengaturan tata ruang untuk habitat gajah adalah kunci untuk menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan satwa raksasa itu.
Sayangnya, hingga kini, penyelesaian jangka panjang konflik antara gajah dan manusia di Lampung masih menemui jalan buntu. Rencana pembentukan ERU atau CRU yang pernah dibahas beberapa kali dalam rapat antar instansi hingga kini belum terwujud. Jika dibiarkan berlarut, bukan tak mungkin konflik itu akan meluas dan korban jiwa terus bertambah.