Setara Institute Menilai Intoleransi di Indonesia Menguat
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Tuntutan hukuman 1,5 tahun terhadap Meiliana (44) yang mengeluhkan kerasnya suara azan masjid di Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada 2016 menambah deretan nama individu yang dikenai pasal penodaan agama. Selain itu, terdapat 116 kasus penodaan agama hingga 2017 yang membuktikan intoleransi di Indonesia menguat.
Meiliana merupakan warga Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Tanjung Balai, yang mengeluhkan bisingnya suara azan dan meminta takmir masjid untuk mengecilkan volume pengeras suara tersebut. Setelah kejadian tersebut, akibat provokasi berita palsu dan ujaran kebencian bernada SARA, ratusan warga melakukan pelemparan dan perusakan atas rumah Meiliana, serta pembakaran atas 1 wihara, 5 kelenteng, 3 mobil, dan 3 sepeda motor.
Proses hukum atas Meiliana dipandang Setara Institute berjalan di luar koridor rule of law dan fair trail. Proses hukum penodaan agama muncul atas sentimen SARA atas dirinya. Pasca-perusakan wihara dan kelenteng oleh kerumunan massa, dengan desakan organisasi masyarakat dan kelompok intoleran, MUI Sumatera Utara mengeluarkan fatwa bahwa Meiliana melakukan penodaan agama. Fatwa MUI tersebut menjadi determinan penetapannya sebagai tersangka oleh kepolisian dan ditahan sejak Mei 2018.
Berbekal Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965, Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa Meiliana terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai Pasal 156a Huruf a KUHP dan subsider Pasal 156 KUHAP tentang ujaran kebencian terhadap suatu golongan rakyat di Indonesia.
Setara Institute mengamati penggunaan pasal penodaan agama tidak mengedepankan penegakan hukum yang profesional. Tuntutan hukum yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum dipengaruhi oleh sentimen kelompok mayoritas dan tekanan kelompok intoleran.
Secara kuantitatif, tuntutan kepada Meiliana terkesan berlebihan dibandingkan dengan pelaku pidana perusakan, pencurian, dan provokasi kasus Kerusuhan Tanjung Balai yang divonis pada Januari 2018 dengan tuntutan rata-rata 4 bulan.
”Secara umum, penggunaan pasal penodaan agama tidak mengedepankan penegakan hukum yang profesional. Sebagian besar kasus penodaan agama (blasphemy) menggunakan tekanan massa yang kemudian diikuti munculnya fatwa MUI yang menguatkan tuntutan massa,” ujar Halili, Direktur Riset Setara Institute.
Secara umum, penggunaan pasal penodaan agama tidak mengedepankan penegakan hukum yang profesional. Sebagian besar kasus penodaan agama (blasphemy) menggunakan tekanan massa yang kemudian diikuti munculnya fatwa MUI yang menguatkan tuntutan massa.
Dalam konteks makro, Setara Institute menilai bahwa berbagai ketidakadilan penerapan hukum dalam kasus penodaan agama di Indonesia mengindikasikan reformasi hukum penodaan harus segera dilakukan. Hal tersebut sesuai amanat Mahkamah Konstitusi kepada pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU No 1 PNPS 1965 dengan berorientasi pemberantasan ujaran kebencian (hate speech), pemidanaan hasutan (incitement), dan pidana kebencian (hate crime).
Haili menambahkan, seharusnya delik penodaan agama tidak lagi mengancam ajaran dan paham keagamaan yang dianggap menyimpang dari pokok ajaran agama mayoritas. Negara harus beralih memidanakan tindakan penghasutan menggunakan dalil agama, ujaran kebencian terhadap kelompok keagamaan berbeda, serta ancaman atas identitas keagamaan yang berbeda.
”Pemerintah, pemuka agama, dan elite organisasi keagamaan harus melakukan tindakan konkret untuk menghentikan persekusi terhadap identitas yang berbeda, khususnya atas mereka yang minor, umat agama yang sedikit,” ujar Hendardi, Ketua Setara Institute. (ISNA NUR INSANI)