Nasionalisme Tanpa Batas Dari Mereka yang Terbatas
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
Cuaca terik tidak meredupkan semangat mereka mengibarkan Sang Merah Putih. Meski memiliki kekurangan, para penyandang disabilitas ini mencintai tanah air dengan tekad yang sempurna. Sudah 73 tahun Indonesia berdiri, hanya ada satu yang belum mereka rasakan, merdeka dalam kesetaraan.
Ada yang tidak biasa di upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Taman Pramuka, Bandung, Jumat (17/8/2018). Lebih kurang 100 penyandang disabilitas menjadi peserta dan perangkat upacara dengan penuh kesungguhan. Panas terik pagi itu tidak menyurutkan niat mereka untuk ikut merayakan Dirgahayu Republik Indonesia ke-73 tahun ini.
“Ayo bu, bapak, mari kita rapatkan barisan, upacara sudah mau dimulai. Tidak apa kita panas-panasan sebentar. Yang menggunakan kursi roda, ayo kita merapat,” tutur Aden Achmad (51) yang menjadi komandan upacara.
Tidak sampai lima menit, seluruh peserta berbaris dengan rapi. Sebagian peserta didampingi keluarga. Disana juga terdapat seorang penerjemah bahasya isyarat untuk membantu peserta yang tuli memahami prosesi upacara.
Berbeda dengan upacara pada umumnya, tidak ada derap langkah komandan terdengar di seantero lapangan, karena Aden menggunakan kursi roda. Namun, ada satu hal yang menyamakan ia dengan komandan lain di upacara manapun. Aden menjadi komandan dengan tegap, tegas, dan bersuara lantang.
Decit suara kursi roda pun tidak mengurangi wibawanya dalam mengatur upacara. Saat inspektur upacara masuk, Aden melapor tanpa menyiratkan kegugupan di wajahnya. Merah putih siap untuk berkibar.
Sismi (40), warga Cileunyi, bersama dua rekan lainnya, bertugas sebagai pasukan pengibar Bendera Merah Putih. Dalam prosesi ini, hal yang tidak biasa juga terjadi. Mereka mencoba untuk menyamakan ritme langkah, karena Sismi menggunakan tongkat bantu untuk berjalan.
Namun, sama seperti Aden, Sismi melakukan tugasnya dengan serius dan tegap. Tidak ada rasa gugup, tapi tatapan tegas dan penuh konsentrasi terpancar di wajahnya. Seluruh peserta upacara memperlihatkan sikap yang serupa.
Sama seperti upacara manapun, mereka melaksanakannya dengan khidmat.Proklamasi pun diucapkan oleh Pembina Upacara dan diikuti dengan lantang oleh seluruh peserta. Hingga doa menutup kegiatan, tidak ada kesusahan terlihat dari sikap mereka.
Usai upacara, rona semangat Sismi masih belum pudar. Ia berujar, ada kebanggaan saat menjadi pengibar bendera di hari bersejarah ini. Setiap langkah yang dilakukan, tuturnya, membakar nasionalisme. “Saya bangga, masih diberi kesempatan menjadi pengibar bendera merah putih. Meskipun dengan keterbatasan, kami cinta tanah air,” ujarnya.
Aden juga terlihat semangat. Tidak henti senyum berhias di wajahnya. Para peserta memanggilnya “Pak Komandan” dan mengajak berfoto bersama.“Kami bangga mengibarkan bendera merah putih dengan lancar. Semoga saja ini tidak hanya berakhir sampai disini,” tuturnya.
Wakil Ketua Kwartir Cabang (Wakakwarcab) Kota Bandung Iwa Gartiwa memuji semangat para peserta saat melaksanakan upacara. Ia berujar, Pramuka Kota Bandung berencana untuk menjadikan upacara ini sebagai kegiatan rutin menyambut Peringatan Kemerdekaan ini.
“Dengan waktu yang terbatas, kami bisa melaksanakan sejauh ini. Semua bersemangat. Bayangkan, dalam lima hari, kami bisa melaksanakannya dengan baik. Semuanya bersemangat,” ujarnya sambil tertawa.
Belum setara
Sudah lewat separuh abad Indonesia merdeka, namun tidak semua warga merasakan kebebasan dan kesetaraan. Tidak semua penyandang disabilitas mendapatkan fasilitas sehingga tidak bisa melakukan aktivitas di ruang publik dengan mandiri.
Sismi menyatakan, hingga saat ini kesetaraan masih belum dirasakan sepenuhnya oleh para penyandang disabilitas. Beberapa sektor seperti transportasi, tuturnya, masih kental diskriminasi.
“Hingga saat ini saya masih kesulitan jika menggunakan transportasi publik. Memang masih ada yang peduli membantu. Tapi kami tidak ingin memberatkan orang lain. Kami hanya butuh akses agar bisa mandiri,” ujarnya.
Menurut Sismi, Pemerintah Kota Bandung memiliki kepedulian terhadap penyandang disabilitas, namun belum menyeluruh. Ia berujar, sebagian besar trotoar di Kota Bandung telah dipasang jalur kuning untuk memandu tunanetra. Namun, tidak semua terpasang dengan sempurna.
“Kami masih merasa belum merdeka. Padahal, kemerdekaan tidak hanya untuk mereka yang sempurna. Kami juga membutuhkannya. Kemanapun kami berjalan, rasa khawatir selalu menghampiri. Diskriminasi masih kami rasakan. Angkot dan bus sulit untuk dinaiki,” ujarnya.
Iwa yang juga Ketua Kamar Dagang dan Industri Kota Bandung mengatakan, momen seperti ini perlu didukung agar para penyandang disabilitas semakin mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Ia berujar, kegiatan ini bisa menjadi pendorong pemerintah untuk semakin memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas agar bisa mandiri.
“Ke depannya kami juga ingin melibatkan masyarakat dalam kegiatan seperti ini. Terkadang, saya melihat masyarakat tidak peduli terhadap mereka. Upaya Pemahaman untuk menjadikan semuanya setara yang membuat kami tidak akan berhenti,” ujarnya.
Tanpa batas
Aden menuturkan, peringatan kemerdekaan Indonesia tidak hanya milik sebagian orang, tetapi seluruh warga negara Indonesia. Meskipun masih belum mendapatkan kesetaraan, tutur Aden, para penyandang disabilitas tetap memiliki nasionalisme tanpa batas.
“Kami cinta tanah air. Suatu kebanggaan bagi kami, bisa mengibarkan Bendera Merah Putih dengan segala keterbatasan ini. Kami harap pemerintah bisa melihat kami. Kami berharap bisa mendapatkan kesetaraan di ruang publik, dalam karir, bermasyarakat dan bernegara,” tuturnya.
Semangat ini yang membuat mereka tidak akan berhenti berjuang. Meskipun berbeda, mereka tetap menginginkan Indonesia yang bersatu, adil dan setara.