Diperkirakan lebih kurang 6 juta diaspora atau orang keturunan Indonesia tersebar di sejumlah negara. Mereka, apa pun profesinya, merupakan kekayaan Indonesia yang belum tergali. Padahal, pemanfaatan diaspora untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia sudah dilakukan India, China, Korea Selatan, dan Vietnam. Upaya ini terbukti berhasil.
Empat negara itu memberikan kesempatan kepada diaspora untuk berkontribusi dan berkolaborasi dengan mitra dalam negeri, terutama di bidang yang berdampak pada pembangunan. Di Indonesia, bidang-bidang penting yang berpengaruh besar pada kemajuan meliputi pangan dan pertanian, kesehatan
dan obat-obatan, teknologi informasi dan komunikasi, serta advance material dan teknologi nano. Selain itu, ada bidang transportasi, teknologi pertahanan, energi dan energi terbarukan, maritim, serta manajemen bencana.
Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I-4) Deden Rukmana mengatakan, dari sisi ilmuwan diaspora, kontribusi dan kolaborasi itu
bisa berbentuk publikasi bersama, kolaborasi riset, atau mengundang mahasiswa ke luar negeri. Ilmuwan diaspora mempunyai kelebihan pada jaringan, pengetahuan, dan pengalaman di negara masing-masing.
”Dengan mekanisme dan regulasi yang jelas, kami bisa membantu apa pun yang dibutuhkan,” kata Deden yang juga profesor di Savannah State University, Amerika Serikat, di sela-sela Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) 2018. Acara ini diadakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, serta I-4 tanggal 13-15 Agustus di Jakarta.
Wajib ada hasil
SCKD 2018 diikuti 47 ilmuwan diaspora dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Swedia, Belanda, Arab Saudi, Australia, Jepang, Singapura, dan Malaysia. Mereka terdiri dari 5 assistant professor, 13 associate professor, dan 12 full professor. Sisanya, dosen senior yang menjadi pemimpin, seperti dekan dan kepala pusat riset. Selama berada di Indonesia, mereka dikirim ke 55 perguruan tinggi di sejumlah daerah untuk membuka peluang kerja sama.
Direktur Jenderal Sumber Daya Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kemristek dan Dikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, ilmuwan diaspora yang datang nantinya harus menghasilkan produk seperti publikasi ilmiah, kerja sama riset, lokakarya dan pelatihan, serta kolaborasi lain. Setelah SCKD tahun lalu, hasil kolaborasi telah terlihat. ”Ada peningkatan pada publikasi internasional, 28 karya terbit di jurnal bereputasi,” ujarnya.
Hutomo Suryo Wasisto, Kepala Grup OptoSense-Laboratory for Emerging Nanometrology dan CEO Indonesian-German Center for Nano and Quantum Technologies di Technische Universitat Braunschweig, Jerman, aktif berkolaborasi dengan sejumlah perguruan tinggi Indonesia. Ia tak mau pikiran dan tenaganya hanya dicurahkan untuk Jerman.
Di kampusnya, ia membimbing 12 mahasiswa PhD dan post doctoral dari Indonesia untuk riset teknologi nano yang bisa diaplikasikan di Indonesia. ”Saya ingin Indonesia menjadi pemain besar di bidang teknologi,” kata profesor muda berusia 30 tahun itu. (LUKI AULIA)